Rencana Kebijakan “Keras” Pemerintahan Amerika Serikat terhadap Korea Utara: Sejarah dan Upaya yang Kerap Gagal

Hubungan yang terkadang membaik dan terkadang memburuk di antara Amerika Serikat (AS) dan juga Korea Utara atau dengan nama resmi Democratic People’s Republic of Korea (DPRK) telah terjadi sejak lama. Hal ini terjadi karena kedua negara merasa terancam dengan satu sama lain sehingga seringnya terjadi gertakan dari dua belah pihak. Amerika Serikat sendiri telah lama menginginkan denuklirisasi Korea Utara, namun hal ini tidak kunjung berhasil dilakukan, lantaran Korea Utara sendiri tentu merasa senjata pemusnah masal itu dapat menjadi nilai plus dalam posisi tawar (bargaining position) Korea Utara di dunia internasional.

Tindakan dari kedua negara ini menjadi ancaman terhadap keamanan nasional dari dua belah pihak.

 

Walaupun Korea Utara sempat menjadi anggota dari Nuclear Nonproliferation Treaty (NPT) di tahun 1985 yang menyepakati bahwa ia tidak akan memproduksi dan mengembangkan nuklir di tahun 1991, namun kabar mengenai pengembangan nuklir dengan cara memperkaya uranium di tahun 2002 membuat hubungan Korea Utara dan Amerika Serikat kembali menegang.[1] Hingga dari tahun 2006-2009, Korea Utara dilaporkan telah berhasil melakukan uji coba senjata nuklir sebanyak dua kali namun gertakan itu disambut dengan tindakan strategic patience oleh pemerintahan Obama yang walaupun pada akhirnya gagal mencapai target Amerika Serikat yaitu denuklirisasi di Korea Utara.

 

Tindakan menggertak dari Korea Utara pun semakin terlihat jelas ketika Kim Jong-Un menjadi pemimpin Korea Utara pada tahun 2011. Gertakan ini umumnya dilakukan lewat parade-parade militer yang videonya dirilis oleh Korea Utara untuk memperlihatkan seberapa kuat mereka dengan harapan tidak seharusnya Amerika Serikat bertindak semena-mena terhadap Korea Utara. Pada tahun 2017, Korea Utara pun sukses meluncurkan rudal balistik antarbenua yang membuat hubungan kedua negara ini semakin panas. Namun untuk menanggulangi tindakan lebih jauh dari Korea Utara, pada 2018, Amerika Serikat berinisiatif untuk menjalin hubungan dengan Korea Utara yang dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) bertemu dan pada 12 April 2018 menghasilkan pernyataan yang ditandatangani keduanya mengenai komitmen Amerika Serikat untuk pemberian jaminan keamanan Korea Utara atau dikenal sebagai grand bargain.

 

Target awal dari Trump sendiri terhadap Korea Utara sendiri masih sama seperti kepemimpinan Obama, dan presiden sebelum-sebelumnya dimana Trump tetap menginginkan denuklirisasi di Semenanjung Korea. Namun rencana ini kembali gagal ketika Trump dan Kim mengadakan KTT kedua di Vietnam yang dimulai pada 27 Februari 2019. Setelah dua hari pembicaraan, para pemimpin gagal mencapai kesepakatan. Presiden Amerika mengatakan Kim ingin semua sanksi terhadap Korea Utara dicabut, tetapi tidak menawarkan pembongkaran program nuklir negara yang memadai sebagai gantinya.[2]

 

Berbeda halnya dengan Joe Biden. Biden sendiri menyatakan pada sesi tanya jawab dalam pemilihan presiden Amerika Serikat mengenai hubungan Amerika Serikat dan Korea Utara yang secara jelas menyatakan bahwa Korea Utara merupakan masalah dan akan memastikan bahwa Amerika Serikat dapat mengontrol tindakan Korea Utara. Pernyataan ini jelas memperlihatkan bahwa Presiden Amerika ke-46 ini tidak setuju dengan langkah yang diambil oleh Trump untuk memperbaiki hubungannya dengan Korea Utara. Pada 28 April 2021, ketika Biden menyampaikan pidatonya pun, pernyataan mengenai senjata nuklir yang dimiliki Korea Utara ini mengancam keamanan Amerika Serikat dan juga dunia. Rencana dari pemerintahan Biden sendiri adalah untuk melakukan pendekatan diplomasi yang praktis dan terkalibrasi yang terbuka.[3]

 

Pernyataan dari Biden ini sendiri menggambarkan bahwa Korea Utara merupakan negara yang membahayakan dan mengancam keamanan Amerika Serikat, yang disambut oleh gertakan dari Korea Utara dan digambarkan sebagai situasi “sangat gawat” bagi Amerika Serikat akibat pidato tersebut. Kejadian ini sendiri dapat dikaitkan dengan konsep keamanan nasional.Keamanan sebagaimana dijelaskan oleh teori realisme, adalah perlindungan terhadap kemerdekaan politik, keutuhan wilayah, dan kedaulatan eksternal negara, dan menggunakan istilah keamanan untuk menunjukkan tidak adanya ancaman militer eksternal.[4] Sedangkan keamanan nasional menyiratkan serangkaian penilaian tertentu yang mendasari tentang cara-cara yang mungkin dilakukan komunitas politik dalam menjaga dari potensi bahaya.[5]

 

Berangkat dari konsep keamanan nasional sendiri, Amerika Serikat sebagai negara yang berusaha melindungi dirinya sendiri mungkin akan bertindak sedikit keras untuk melindungi diri dari Korea Utara yang melakukan ancaman. Rencana kebijakan Amerika Serikat yang digambarkan sebagai“permusuhan” terhadap  Korea Utara sendiri merupakan salah satu tindakan yang dilakukan AS untuk melindungi keamanan nasionalnya. Namun jika melihat bagaimana hubungan di antara kedua negara dan juga Biden melihat Korea Utara hubungan di antara mereka tidak akan lebih baik daripada di bawah Trump.

 

Hal ini dapat dilihat dari bagaimana pendekatan Amerika Serikat terhadap Korea Utara lewat presiden-presiden sebelumnya tidak pernah berhasil, dan untuk mendekati kondisi keamanan nasionalnya, Amerika Serikat melalui pemerintahan Biden akan melakukan cara yang berbeda dari sebelumnya untuk mengamankan diri dari ancaman Korea Utara dan juga senjata-senjata hebat yang diharapkan tidak akan pernah digunakan di kemudian hari.


[1] Priyanka Boghani, “The U.S. and North Korea On The Brink: A Timeline”, PBS.org, 28 Februari 2019,  https://www.pbs.org/wgbh/frontline/article/the-u-s-and-north-korea-on-the-brink-a-timeline/

[2] Ibid

[3] Al Jazeera, “US says no ‘grand bargain’ as Biden changes approach to N Korea”, Aljazeera.com, 1 Mei 2021, https://www.aljazeera.com/news/2021/5/1/us-says-no-grand-bargain-as-biden-changes-approach-to-n-korea

[4]  Samuel M. Makinda, “Sovereignty and Global Security”, Security Dialogue, 1998, Sage Publications, Vol. 29(3) 29: 281-292, hlm. 286

[5] Matthew Sussex, dkk, “National security: between theory and practice”, Australian Journal of International Affairs, 71:5, 474-478, 8 Agustus 2017, https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/10357718.2017.1347139, hlm. 474