Balon Udara China: Antara Spionase dan Force Majeure
Balon udara China diketahui telah melayang masuk dan keluar wilayah udara Amerika selama tiga hari sebelum menimbulkan kekhawatiran yang cukup bagi Joe Biden. Balon itu pertama kali terdeteksi ketika melayang ke arah timur di atas Alaska, tempat pertama kali terdeteksi oleh Komando Pertahanan Dirgantara Amerika Utara pada 28 Januari lalu dan bergerak menuju Kanada.[1] Butuh tujuh hari sejak balon pertama kali memasuki wilayah udara AS sebelum jet tempur F-22 menembakkan rudal ke balon udara itu, kini, militer AS tengah berfokus pada upaya pemulihan puing-puingnya yang jatuh ke Samudra Atlantik.
China mengatakan “berhak” untuk menghadapi “situasi serupa” menyusul keputusan Amerika Serikat untuk menembak jatuh balon udaranya yang terbang di wilayah kedaulatan AS. “AS menggunakan kekuatan untuk menyerang pesawat tak berawak sipil kami, yang jelas merupakan reaksi berlebihan. Kami menyatakan protes serius terhadap tindakan pihak AS ini,” kata juru bicara Kementerian Pertahanan China, Tan Kefei dalam sebuah pernyataan pada 5 Februari lalu.[2]
Amerika Serikat percaya bahwa balon itu terlibat dalam kegiatan spionase, tetapi China membantahnya, bersikeras bahwa itu adalah kapal penelitian sipil yang terbang keluar jalur. “Pihak China telah berulang kali memberi tahu pihak AS setelah verifikasi bahwa pesawat itu untuk penggunaan sipil dan memasuki AS karena force majeure – itu benar-benar kecelakaan,” kata pernyataan Kementerian Luar Negeri China.[3]
Media pemerintah China pada 4 Februari 2023 mengumumkan bahwa kepala dinas cuaca negara itu dibebastugaskan, dalam sebuah langkah yang dilihat oleh beberapa analis sebagai upaya untuk menopang posisi Beijing bahwa balon dataran tinggi itu bersifat sipil terutama untuk tujuan meteorologi.
Di sisi lain, para pejabat AS telah membantah klaim China, “Ini adalah balon pengintai RRC. Balon pengintai ini dengan sengaja melintasi Amerika Serikat dan Kanada dan kami yakin balon itu berupaya memantau situs-situs militer yang sensitif,” kata seorang pejabat senior pemerintah AS dilansir dari CNN.[4]
Selain melintasi wilayah AS dan Kanada, dikatakan balon yang diyakini digunakan untuk “pengamatan meteorologi” terbang di atas pulau Taiwan itu pada September 2021 dan Februari 2022, menurut Kementerian Pertahanan Nasional Taiwan. Namun masih belum jelas apakah balon-balon itu adalah jenis yang sama dengan yang dijatuhkan oleh jet tempur AS pada 4 Februari lalu. Namun, terlepas dari klaim mana yang benar, akibat insiden ini, kini hubungan diplomasi antara AS dan China kembali memanas.
China Menyalahkan Keadaan?
“Force majeure” adalah doktrin dalam hukum internasional berbasis situasi di mana sebuah peristiwa dapat dimaafkan dari tanggung jawab suatu pihak karena sesuatu yang tidak dapat diprediksi, tidak dapat dikendalikan, dan membuat suatu rencana tidak mungkin dijalankan.[5] Peristiwa force majeure dapat mencakup bencana alam, pandemi, atau kendala buatan manusia seperti perang, kerusuhan sipil, atau kudeta. Di sisi lain, doktrin ini dapat menjadi “tameng” pertahanan sebuah negara dalam menjalankan aktifitasnya yang tidak berjalan sesuai rencana seperti bagaimana balon udara China terbang ke wilayah Amerika Serikat secara tidak sengaja.
Terkait tindakan spionase atau tidak, International Humanitarian Law (IHL) tidak menyatakan spionase secara langsung merupakan kegiatan ilegal, IHL juga mengatakan bahwa pelaku spionase ataupun mata-mata merupakan agen tidak teratur yang melakukan operasi rahasia dianggap sebagai pejuang yang melanggar hukum dalam kondisi perang, namun, selama masa damai, posisi spionase lebih ambigu. Tidak ada perjanjian yang mengatur penggunaan agen rahasia untuk tujuan mengumpulkan intelijen. Bahkan sulit untuk menentukan ruang lingkup yang tepat dari apa yang disebut ‘spionase’ untuk tujuan hukum internasional.[6]
Beberapa negara, termasuk AS mengambil sikap cukup keras terhadap tindakan spionase, hal ini dapat berdampak baik dan juga buruk, jika balon udara tersebut benar-benar milik sipil dan terbang ke wilayah AS karena force majeure, China dapat menuntut AS atas pelanggaran penyerangan terhadap sipil. Jika China terbukti melakukan spionase, walaupun AS bertindak tepat, tetapi hal ini dapat menjadi acuan bagi China untuk menjustifikasi tindakan serupa jika suatu saat AS melakukan upaya spionase ataupun terdapat aktifitas yang dicurigai oleh China.
Pada 7 Februari 2023, Pentagon mengatakan bahwa sampai saat ini, China telah menolak permintaan dari Menteri Pertahanan AS, Lloyd J. Austin III untuk berbicara. Di sisi lain, dugaan puing-puing dari balon udara yang jatuh di perairan Atlantik berhasil ditemukan dan Angkatan Laut AS tengah mencoba untuk memulihkan sensor balon dan peralatan pengawasan lainnya dari balon udara tersebut.[7]
[1] Kevin Liptak, et al., “Inside Biden’s decision to ‘take care of’ the Chinese spy balloon that triggered a diplomatic crisis”, CNN, 5 Februari 2023 https://edition.cnn.com/2023/02/04/politics/china-spy-balloon-tick-tock/index.html
[2] Heather Chen dan Wayne Chang, “China says it ‘reserves the right’ to deal with ‘similar situations’ after US jets shoot down suspected spy balloon”, CNN, 5 Februari 2023, https://edition.cnn.com/2023/02/04/asia/beijing-reacts-us-jets-shoot-chinese-spy-balloon-intl-hnk/index.html
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Dr Willcocks Andrew dan Pieri Romain, “Force majeure”, Jus Mundi, 27 September 2022, https://jusmundi.com/en/document/publication/en-force-majeure
[6] Juan Pablo Hernández, “The legality of espionage in international law”, The Treaty Examiner, No. 1, April 2020, hlm 31-38
[7] Helene Cooper, China Isn’t Ready to Pick Up Phone After Balloon Incident”, The New York Times, 7 Februari 2023, https://www.nytimes.com/2023/02/07/us/politics/china-balloon-austin.html