6 Bulan Kekuasaan Taliban: Artefak Berharga
Setelah Taliban menguasai Afghanistan, Amerika Serikat (AS) membekukan aset milik pemerintahan Afghanistan sebelumnya, oleh AS yang sebagian akan digunakan untuk dana kompensasi korban 11 September 2001. Pihak Taliban kemudian perlu memperjuangkan asetnya dengan melibatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Banyak permasalahan yang muncul dan dikhawatirkan banyak pihak ketika Taliban berkuasa, dari hak wanita, tumbuhnya kelompok teroris, hingga perekonomian.
Krisis kemanusiaan dan ekonomi di Afghanistan terjadi semenjak pemerintahan Taliban Afghanistan. Kini, krisis ekonomi membuat masyarakat perlu mencari cara untuk bertahan di tengah pemerintahan yang asetnya dibekukan oleh Amerika Serikat. Siapa sangka bahwa artefak kini menjadi salah satu hal yang dikhawatirkan keamanannya karena penyelundup dari Afghanistan mulai menjualnya sebagai komoditas mereka.
Taliban sendiri perlu mencari cara untuk mendanai negara pemerintahan mereka itu. Menurut BBC, Taliban menerima dana dari beberapa sumber ilegal seperti perdagangan narkoba dimana Afghanistan terkenal sebagai produsen opium, hasil tambang yang diambil secara ilegal, dan pajak dari area kekuasaan Taliban.[1] Aset-aset tersebut tidak cukup untuk memperbaiki krisis ekonomi yang kini melanda Afghanistan.
Dengan pembekuan aset, Taliban kesulitan untuk menjalankan negara yang akhirnya mereka pimpin kembali. Hal ini berdampak pada masyarakat Afghanistan yang jauh lebih terpuruk, ditambah, Taliban kini berencana membentuk kekuatan militer besarnya sendiri. Masyarakat Afghanistan kini membutuhkan komoditas berharga untuk membiayai hidup mereka. Hal ini menyebabkan jaringan penyelundup artefak tumbuh di Afghanistan.
Afghanistan dan Artefak Berharga
Afghanistan merupakan negara yang cukup kaya dengan peninggalan sejarahnya. Beberapa situs berita melaporkan bahwa artefak yang kini diincar adalah salah satu koleksi berharga yang disebut “Harta Karun Baktria” yang tergabung dari 20.000 artefak terbuat dari emas, serta dikabarkan berusia 2.000 tahun. Saat Kabul jatuh ke tangan Taliban, koleksi ini langsung diamankan di bank sentral. Kekhawatiran para ahli ketika Taliban berkuasa adalah karena kejadian di situs Mes Aynak, sebuah kota yang kental dengan budaya agama Budha yang berkembang sekitar 1.600 tahun yang lalu. Ketika Taliban memerintah Afghanistan antara tahun 1996 dan 2001, mereka menghancurkan banyak artefak Buddha termasuk dua patung besar abad keenam yang dikenal sebagai “Buddha Bamiyan” yang diukir di tebing di wilayah tersebut. Kelompok ekstremis menggunakan roket, dan berbagai senjata lainnya.[2]
Mengapa Artefak Menjadi Objek Penting?
Hubungan internasional kini didominasi oleh aliran pemikirannya yang dominan fokus pada perjuangan untuk kekuatan material dan memperlihatkan bagaimana aktor bertindak egois dan mementingkan dirinya sendiri.[3] Budaya membuat individu menjadi siapa mereka dan mendefinisikan apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka berpikir, dan budayalah yang menopang institusi sosial.[4] Contoh termudah bagaimana suatu budaya dapat mempengaruhi hubungan internasional adalah kejadian Brexit.
Artefak merupakan objek berharga bagi sebuah negara dan bagian dari sebuah budaya. Nyatanya, koleksi tersebut merupakan aset keuangan bagi perekonomian Afghanistan yang dapat menghasilkan lebih dari $4,5 juta dalam bentuk devisa dari pameran ketika koleksi tersebut ditampilkan di sebuah museum[5]. Selain itu, artefak yang terbuat dari emas juga menyumbang kekuatan bagi nilai mata uang negara. Tahun lalu, UNESCO meminta bantuan Taliban untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya Afghanistan.
Di level masyarakat, krisis ekonomi memaksa mereka untuk mencari cara bertahan hidup. Artefak-artefak ini kemudian dijual ke beberapa negara hingga sampai ke AS. Dilansir dari Al Jazeera, AS telah membatasi impor objek sejarah dari Afghanistan melalui dekrit yang mulai berlaku pada hari Jumat, termasuk pembatasan membawa keramik, lukisan, dan hal lainnya yang terdapat dalam daftar.[6] Departemen Luar Negeri AS mengatakan pihaknya mengambil tindakan sepihak untuk memberlakukan pembatasan impor darurat karena “keadaan di Afghanistan”.
Dalam Penjagaan Taliban
Pada bulan Desember 2021, Museum Nasional Afghanistan dibuka kembali, di bawah pemerintahan. Padahal, anggota Taliban pernah menerobos fasilitas itu untuk menghancurkan warisan nasional Afghanistan pada masa pemerintahannya di tahun 1996-2001. Namun, Taliban saat ini justru turut menjaga gedung bersejarah yang terletak di ibu kota, Kabul.[7] Sesuai janjinya, Taliban kini menjadi kelompok yang lebih santai dari pemerintahan mereka, selain membuka museum mereka juga menjaga situs patung Buddha yang pernah mereka hancurkan.
Walaupun begitu, krisis ekonomi membuat artefak dan objek historis sangat menggiurkan untuk dijual ke pasar gelap, atau jika Taliban masih memiliki pandangan seperti pada pemerintahan tahun 1996, artefak-artefak tersebut bisa saja dihancurkan. Artefak dan objek yang merupakan karya seni sering luput dari pertimbangan dan pemahaman ketika membahas hubungan internasional. Padahal, seni dapat meninggalkan dampak pada politik internasional dengan menawarkan inspirasi dan perspektif antara aktor dari berbagai negara.[8]
Tidak dapat dipungkiri, krisis ekonomi membuat artefak menjadi aset berharga untuk mendapatkan uang. Tetapi, kini Taliban memperlihatkan perubahannya. Walau berada di tengah krisis ekonomi Taliban kini menganggap artefak sebagai aset yang perlu dijaga, bukan diperjualbelikan bahkan ketika aset mereka dibekukan oleh AS.
[1] Dawood Azami, “Afghanistan: How do the Taliban make money?”, CNN, 28 Agustus 2021, https://www.bbc.com/news/world-46554097
[2] Owen Jarus, “The Taliban may be hunting for Afghanistan’s most famous treasure”, Live Science, 23 September 2021, https://www.livescience.com/taliban-takeover-afghanistan-treasure
[3] Christian Reus-Smit, “International Relations Theory Doesn’t Understand Culture”, Foreign Policy, 21 Maret 2019, https://foreignpolicy.com/2019/03/21/international-relations-theory-doesnt-understand-culture/
[4] Ibid.
[5] Sribala Subramanian, “Under Taliban Rule, What Happens to Afghanistan’s Artifacts?”, The Diplomat, https://thediplomat.com/2021/08/under-taliban-rule-what-happens-to-afghanistans-artifacts/
[6] “US restricts import of Afghan cultural items to prevent ‘pillage’”, Al Jazeera, 22 Februari 2022, https://www.aljazeera.com/news/2022/2/22/us-restricts-import-of-afghan-cultural-items-to-prevent-pillage
[7] Ibid.
[8] Barbara Baudot, “Art in International Relations”, 30 November 2017, https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190846626.013.119, https://oxfordre.com/internationalstudies/view/10.1093/acrefore/9780190846626.001.0001/acrefore-9780190846626-e-119