AS Tarik Tentaranya, China Usul Jadi Fasilitator Perdamaian Afghanistan

Setelah 20 tahun di Afghanistan, Amerika Serikat (AS) saat ini sedang dalam proses memulangkan sekitar 20 persen tentaranya dari negara tersebut yang ditargetkan Presiden AS Joe Biden selesai pada 11 September 2021 nanti, sesuai dengan tanggal serangan pada menara World Trade Centre (WTC). Serangan ini menjadi titik awal semakin meningkatnya isu terorisme yang juga menjadi alasan AS berada di Afghanistan hingga saat ini. Proses penarikan tentara AS dari Afghanistan sendiri merupakan tindak lanjut dari kesepakatan Taliban dan AS pada masa Trump dulu untuk menurunkan jumlah tentara menjadi hanya sekitar 2500 tentara, yang seharusnya sudah rampung sejak April 2021.[1] Namun gejolak masih terus terjadi dan China baru-baru ini mengusulkan agar negaranya menjadi fasilitator perdamaian Afghanistan. Apa yang diinginkan China di Afghanistan?

 

Penarikan Mundur Tentara AS: Timur Tengah bukan Prioritas Biden?

Sesuai dengan kesepakatan Damai Doha antara AS dan Taliban, AS melakukan pengurangan jumlah kekuatan militer AS dan aliansinya The North Atlantic Treaty Organization (NATO) di wilayah Afghanistan. Sebagai gantinya, Taliban harus berkomitmen untuk berhenti menyerang tentara Afghanistan dan akan secara positif mempertimbangkan dialog perdamaian demi mengatasi konflik keamanan di sana. Namun, melihat rumitnya permasalahan regional Timur Tengah, perdamaian dan kestabilan di Afghanistan akan sangat sulit dicapai dan bahkan akan lebih sulit pasca mundurnya tentara AS. Terlebih melihat serangan baru-baru ini di sekolah perempuan dan masjid yang totalnya mencapai lebih dari enam puluh orang[2] seakan menjadi pembuka serangan besar lainnya.

Dilihat menggunakan konsep kekosongan kekuatan atau vacuum of power, melemahnya atau mundurnya kekuatan negara besar terutama di negara yang rentan memberikan kesempatan bagi organisasi atau kelompok militan mengisi kekosongan kekuasaan tersebut.[3] Kondisi kekosongan kekuatan ini dipergunakan oleh kelompok militan untuk menggunakan kondisi ketidakstabilan negara untuk semakin memperluas dukungan, bahkan merekrut para pengungsi dan masyarakat terpinggirkan untuk mendukung tujuan kelompok militan tersebut.[4] Dalam hal ini, dampak dari penarikan bertahap tentara AS berisiko menyebabkan terjadinya peningkatan kekuatan kelompok terorisme dan pemberontak yang semakin mengancam kestabilan masyarakat sipil Afghanistan.

Meskipun banyak pihak mendorong Biden untuk memikirkan kembali keputusan penarikan tersebut karena khawatir memunculkan permasalahan lebih besar, namun Biden menyatakan akan tetap menyelesaikan secara penuh rencananya memulangkan tentara AS dari perang panjang di Afganistan dengan harapan perdamaian bisa dicapai oleh kedua belah pihak. Hal ini dikarenakan jika dilihat dari prioritas Biden, isu di Timur Tengah tidak menjadi tiga prioritas teratas Biden karena AS lebih fokus pada wilayah Asia Pasifik terutama negara China, Eropa, lalu bagian Barat seperti negara Amerika Utara, Selatan, dan lain-lain.[5] Peningkatan pengaruh China membuat AS lebih fokus pada China dan penguatan aliansinya di wilayah Indo-Pasifik. Selain itu, partai dan kondisi domestik AS juga mendorong AS untuk secepatnya mengakhiri perang di Afghanistan yang sudah berlarut, sehingga tidak akan mudah bagi Biden menarik kembali keputusan tersebut.

Selain itu, Biden yang sebelumnya menjadi wakil presiden di masa Obama sudah familiar dengan dinamika di Timur Tengah dan kerap menolak Perang Irak pertama tahun 1991 lalu, termasuk terkait isu peningkatan jumlah tentara AS.[6] Maka dari itu, meskipun melihat perjanjian AS dengan Taliban pada masa Trump ini sangat berisiko, namun implementasi ini juga sedikit banyaknya sesuai dengan pandangan dan janji politik Biden untuk membawa pulang tentara AS dari Afghanistan.[7] Implementasi penarikan tentara ini juga menjadi upaya metode diplomasi dan negosiasi kedua belah pihak yakni Taliban dan pemerintah Afghanistan, di mana pemerintah Afghanistan mendorong Taliban untuk bekerja sama dan menghentikan serangan. AS berjanji akan tetap mendukung pencapaian perdamaian di Afghanistan dengan mencari negara sekitar yang mengizinkan pembangunan fasilitas militer di wilayah mereka. Hal ini menunjukkan kehadiran dan pengaruh AS tidak akan langsung hilang karena Afghanistan juga sudah banyak bergantung dengan AS secara keamanan, begitupun AS yang tetap menginginkan adanya kehadiran AS di Timur Tengah.

 

AS pergi, China datang. Apa tujuan China?

Menurunnya jumlah kekuatan militer AS di Afghanistan digunakan momentumnya oleh China sebagai kesempatan memperkuat pengaruhnya di Timur Tengah dengan mengusulkan menjadi fasilitator perdamaian. Seperti dalam konsep kekosongan kekuatan, kondisi ini berisiko menimbulkan kekosongan kekuatan yang tentunya mengkhawatirkan Afghanistan itu sendiri dan negara regional lainnya, serta untuk China. Bagi China, peningkatan kekuatan Taliban dan ketidakstabilan Afghanistan akan mempengaruhi keamanan di perbatasan Barat China terutama Xinjiang.[8] Rentannya radikalisme dan perpindahan kelompok teroris berpotensi meningkatkan risiko paparan radikalisme di wilayah Xinjiang yang sedang memanas terkait isu hak asasi dan sangat rentan untuk disebarkan ideologi radikalisme.

Dalam upaya meminimalisir dampak tersebut, secara politik China melalui Menteri Luar Negeri China Wang Yi menghubungi Presiden Afghanistan Ashraf Ghani untuk membicarakan peran kepemimpinan China di Afghanistan.[9] China berupaya menunjukkan peran aktif dan konstruktif nya dalam isu ini, di mana China bahkan menyatakan kesiapan untuk memfasilitasi dialog Afghanistan dan bersedia menyediakan tempat negosiasi di China. Meskipun menyatakan metode dan keterlibatan AS malah memperburuk keadaaan, namun upaya negosiasi China juga tidak akan banyak berpengaruh, mengingat China juga sudah pernah mencoba metode ini antara pemerintah Afghanistan, kelompok masyarakat sipil, dan Taliban yang tetap tidak menghasilkan proses perdamaian positif karena kompleksitas dan konflik kepentingan setiap aktor yang terlibat. Selanjutnya, secara ekonomi China juga ingin memperkuat pengaruh dan ketergantungan negara lain termasuk di Afghanistan untuk mendukung ambisi belt and road initiative nya. Hal ini dikarenakan Afghanistan menjadi negara yang menghubungkan dengan negara di Asia. Terlihat bahwa Afghanistan menjadi salah satu negara penting bagi perlindungan dan pencapaian kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan bagi China.


[1] Congressional Research Service, (2021), U.S. Military Drawdown in Afghanistan: Frequently Asked Questions, CSR Report, https://fas.org/sgp/crs/natsec/R46670.pdf

[2] AFP, (2021), ISIS claims attack on Afghanistan mosque that left 12 worshippers dead, Alarabiya News, https://english.alarabiya.net/News/world/2021/05/16/ISIS-claims-attack-on-Afghanistan-mosque-that-left-12-worshippers-dead

[3] Boaz Atzili, (2010), State Weakness and “Vacuum of Power” in Lebanon, Studies in Conflict & Terrorism, 33:757–782, https://www.researchgate.net/publication/248984187_State_Weakness_and_Vacuum_of_Power_in_Lebanon/

[4] Ibid.,

[5] Natasha Bertrand dan Lara Seligman, (2021), Biden deprioritizes the Middle East, Politico, https://www.politico.com/news/2021/02/22/biden-middle-east-foreign-policy-470589

[6] Ibid.,

[7] Steve Beynon, (2021), It’s Official: Biden Vows to Bring All Troops Home from Afghanistan by Sept. 11, Military.com, https://www.military.com/daily-news/2021/04/14/its-official-biden-vows-bring-all-troops-home-afghanistan-sept-11.html

[8] Erslev Andersen, dkk, (2018), China’s engagement in Pakistan, Afghanistan, and Xinjiang: Will China’s root cause mode; provide regional stability and security?, DIIS Report No. 2018:06, Econstor, https://www.econstor.eu/handle/10419/197624

[9] The Economic, (2021), China offers to host Afghan peace talks, backs leading role for Ghani-led govt, https://economictimes.indiatimes.com/news/defence/china-offers-to-host-afghan-peace-talks-backs-leading-role-for-ghani-led-govt/articleshow/82739566.cms