Sanksi AS Menjadi Faktor Kegagalan Bantuan Korban Gempa di Suriah

Warga Suriah di wilayah barat laut yang dikuasai pemberontak mengecam kurangnya bantuan kemanusiaan untuk korban gempa kuat Turki dan Suriah, menggambarkan pemandangan bencana di daerah yang telah dilanda perang saudara selama 12 tahun.

Pada 12 Februari 2023, kepala bantuan PBB, Martin Griffiths mengakui kekurangan tersebut, dengan mengatakan penduduk Suriah di wilayah tersebut merasa “ditelantarkan” karena bantuan yang mereka harapkan belum juga tiba. “Sejauh ini kami telah mengecewakan orang-orang di barat laut Suriah. Mereka benar merasa ditinggalkan. Mencari bantuan internasional yang belum sampai,” katanya dalam sebuah tweet.

“Tugas saya dan kewajiban kita adalah memperbaiki kegagalan ini secepat mungkin. Itulah fokus saya sekarang,” tambahnya selama kunjungan ke daerah perbatasan,[1] lima hari setelah gempa bumi dahsyat berkekuatan 7,8 dan 7,6 – dan banyak gempa susulan – mengguncang Turki dan Suriah, menewaskan lebih dari 33.000 orang termasuk setidaknya 4.500 di Suriah saja per 13 Februari 2023.

Pada 12 Februari 2023, al-Saleh menanggapi permintaan maaf Griffiths yang di-tweet, dengan mengatakan: “Setelah bertemu hari ini dengan @UNReliefChief di perbatasan Turki-Suriah, kami menghargai permintaan maaf atas kekurangan dan kesalahan.” Dia kemudian mendesak PBB untuk membuka lebih banyak penyeberangan darat ke Suriah barat laut selain Bab al-Hawa.

Pejabat dari PBB memasuki kota Aleppo yang dikuasai pemerintah pada hari 10 Februari 2023, setelah mengeluarkan peringatan yang mengatakan hingga 5,3 juta orang di negara itu mungkin kehilangan tempat tinggal akibat gempa tersebut.[2] Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus juga mendatangi Aleppo, tiba dengan pesawat yang membawa sekitar 35 ton peralatan medis vital, menurut kantor berita SANA milik pemerintah Suriah, yang menambahkan bahwa pesawat kedua akan tiba dalam dua hari setelahnya.

Dalam kunjungan ke Kahramanmaras, pusat gempa pertama, Griffiths mengatakan dia berharap bantuan yang dikirim ke pemerintah Suriah akan disalurkan ke daerah-daerah yang dikuasai pemerintah dan oposisi, tetapi ini “belum jelas”.[3] Namun di barat laut yang dikuasai pemberontak, di mana empat juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan, tidak ada pengiriman bantuan dari daerah yang dikuasai pemerintah.

Mengapa hal ini terjadi?

Telah ada seruan dari oposisi pemerintah Suriah untuk membuka lebih banyak penyeberangan darat sejak hari gempa bumi, tetapi Bab al-Hawa tetap menjadi satu-satunya wilayah untuk memasuki Suriah yang disepakati sampai saat ini. Untuk itu, Sekretaris Jenderal PBB juga mendesak Dewan Keamanan  untuk mengesahkan pembukaan titik bantuan lintas batas baru antara Turki dan Suriah.

Pemerintah Suriah sendiri telah menyetujui pengiriman bantuan kemanusiaan ke daerah-daerah yang dilanda gempa. Tetapi seorang juru bicara PBB mengatakan bahwa bantuan gempa dari bagian Suriah yang dikuasai pemerintah ke wilayah barat laut telah tertahan oleh “masalah persetujuan” dengan kelompok bersenjata garis keras Hay’et Tahrir al-Sham (HTS).[4]

Presiden Suriah, Bashar Assad, telah dituduh sebagai salah satu aktor yang disangka sebagai dalang dari pemberontakan yang terus terjadi di Suriah. Cara berpolitik Assad sendiri turun dari mendiang ayahnya yang memerintah Suriah dengan tangan besi dari tahun 1971 hingga kematiannya pada tahun 2000.[5]

Sanksi oleh pihak barat sendiri diperketat karena Assad sendiri mendapat dukungan dari Rusia dan Iran yang membuatnya tidak terpengaruh oleh ancaman dari AS dan aliansinya. Suriah sendiri berada di bawah sanksi AS sejak 1979, ketika Washington menetapkannya sebagai negara pendukung kegiatan terorisme. Gedung Putih memperketat pembatasan lebih lanjut di tengah perang Irak pada tahun 2004.

Akibatnya, konflik terbuka sering terjadi di Suriah. Kantor hak asasi manusia PBB pada tahun 2022 mengatakan bahwa 306.887 warga sipil telah tewas di Suriah selama konflik sejak 2011.[6] Konflik itu sendiri diawali protes damai terhadap pemerintahan Presiden Bashar al-Assad pada Maret 2011 dan berubah menjadi konflik berlarut-larut.

Salah satu sanksi paling “besar” terjadi pada tahun 2019 dimana AS menjatuhi “sanksi Caesar” yang dinamai dari seorang fotografer militer yang menyelundupkan dokumentasi penyiksaan di penjara milik Assad. Sanksi tersebut bertujuan untuk menguhukum para pendukung pemerintah Suriah yang membuatnya tetap berkuasa. Undang-undang sanksi mulai berlaku 17 Juni 2020. Seorang spesialis Suriah menyebutnya sebagai “sanksi AS paling luas yang pernah diterapkan terhadap Suriah.”[7]

AS untuk sementara melonggarkan sanksinya terhadap Suriah dalam upaya untuk mempercepat pengiriman bantuan ke barat laut negara itu, di mana hampir tidak ada bantuan kemanusiaan yang tiba meskipun ribuan kematian terjadi akibat gempa besar Turki. Departemen Keuangan AS mengumumkan pengecualian 180 hari untuk sanksi terhadap Suriah untuk “semua transaksi yang berkaitan dengan upaya bantuan gempa”.

Tetapi para analis mengatakan tuntutan pemerintah Assad dan efek perang adalah faktor utama yang memperumit pengiriman bantuan ke barat laut yang sudah tegang, dan langkah AS lebih kepada meyakinkan bank dan lembaga lain bahwa mereka tidak akan dihukum karena memberikan bantuan dan pendampingan untuk Suriah.[8] Hal ini karena sanksi yang diterapkan AS pada Suriah memungkinkan Amerika Serikat untuk memberikan sanksi kepada entitas non-Suriah yang memiliki hubungan dengan pemerintah Suriah. Undang-undang tersebut telah digunakan sejauh ini untuk mempersulit Assad dan jaringannya mendapatkan keuntungan yang kini menyulitkan pihak internasional untuk memberikan bantuan kepada Suriah dibandingkan ke Turki.

Dari sudut pandang lain, jika aktor internasional lain “takut” untuk membantu Suriah karena sanksi AS, Rusia yang dapat dikatakan tidak begitu memperdulikan hal itu terlihat justru membantu Suriah lebih banyak dibandingkan aktor negara lainnya. Per 28 Februari, tercatat hampir 200 pesawat asing telah memberikan bantuan untuk wilayah terdampak di Suriah. Kelonggaran sanksi AS telah membuat banyak negara juga turut membantu korban gempa Suriah. Menurut Gurinov, petugas medis Rusia dan Belarusia terus menawarkan layanan medis kepada orang -orang Suriah yang terluka dalam gempa bumi yang menghancurkan di rumah sakit lapangan. Lebih dari 1.400 orang telah menerima bantuan medis sejak 17 Februari.[9]

[1] Linah Alsaafin, “Rescuers denounce aid ‘failure’ in Syria’s devastated northwest”, Al Jazeera, 12 Februari 2023, https://www.aljazeera.com/news/2023/2/12/white-helmets-critical-of-lack-of-un-aid-in-syrias-northwest

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] “Syria’s Assad, hated by the West but defended by Russia”, Arab News, 13 April 2017, https://www.arabnews.com/node/1083796/world

[6] Emma Farge, “War has killed 1.5% of Syria’s population: UN estimate”, Reuters, 28 Juni 2022,  https://www.reuters.com/world/middle-east/syria-civilian-death-toll-over-306000-since-2011-un-2022-06-28/

[7] Howard J. Shatz, “The Power and Limits of Threat: The Caesar Syrian Civilian Protection Act at One Year”, RAND Corporation, 8 Juli 2021, https://www.rand.org/blog/2021/07/the-power-and-limits-of-threat-the-caesar-syrian-civilian.html

[8] Chris Stein, “US announces 180-day exemption to Syria sanctions for disaster aid”, The Guardian, 10 Februari 2023, https://www.theguardian.com/world/2023/feb/10/us-syria-sanctions-exemption-earthquake-relief

[9] “Relief aid delivered to quake-hit Syria by nearly 200 planes from foreign countries”, TASS, 28 Februari 2023, https://tass.com/defense/1582279