Perang Tiga Puluh Tahun Eropa Cikal Bakal Diplomasi Westphalia

Dalam sejarah Eropa, Perang Tiga Puluh Tahun merupakan serangkaian perang yang dimulai pada 1618 sebagai bentuk perjuangan dari berbagai negara karena berbagai alasan, termasuk agama, dinasti, teritorial, dan persaingan komersial. Perang tersebut merupakan konflik paling destruktif dan paling lama yang terjadi dalam sejarah Eropa. Hal tersebut berakhir dengan Perjanjian Westphalia 1648. Perang 30 tahun di Eropa pada dasarnya memang terjadi dengan masalah yang kompleks. Selama Abad Pertengahan, Eropa dikuasai oleh Gereja Katolik Roma dan Imperium Romawi Suci.[1]

Imperium Roma pada masanya terbentuk atas wilayah yang sekarang ditempati oleh Austria, Republik Ceko, Prancis bagian timur, Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Luksemburg dan beberapa bagian Italia. Setiap kawasan diperintah oleh seorang pangeran beragama Katolik Roma, yang mana hal tersebut membuat kekuatan pusat Eropa berada dalam cengkraman Katolik Roma. Akar dari Perang Tiga Puluh Tahun dapat ditarik kembali hingga tahun 1500-an yakni dua perkembangan utama yang berasal dari Protestan dan Reformasi Katolik. Ketegangan agama yang dibarengi dengan kerumitan persaingan politik menimbulkan konflik antara Lutheran Swedia dan Katolik Polandia, Protestan dan Katolik Jerman, dan Protestan Belanda dan Inggris melawan Katolik Spanyol. Hapsburg juga memberikan kontribusi besar terhadapnya berikut dengan negara-negara lain di Eropa yang mengalami konflik nya masing-masing.

Kekusutan ini semakin bertambah dengan ketegangan agama yang dicampurkan dengan politik yang terpolarisasi ke dalam dua kubu.[2] Kubu Protestan terdiri dari Protestan Jerman, Denmark, Republik Belanda, Inggris, Swedia, Venice dan Perancis. Sedangkan dalam kubu Katolok memiliki umat Katolik Jerman, Spanyol, Austria, Belanda, Naples, Milan, dan Polandia. Kedua kubu ini saling bermusuhan yang menyebabkan perang besar hampir di seluruh wilayah Eropa. Terutama di Jerman dimana para pangeran Protestan membentuk liga defensive yang dikenal sebagai Protestan Union pada tahun 1609. Faktor lain yang mendorong perang ini adalah kondisi ekonomi Eropa yang merosot pada masa tersebut. Iklim yang berbubah semakin dingin membuat hasil panen semakin berkurang dibarengi dengan pertumbuhan penduduk yang telah mencapai dua kali lipat sejak tahun 1450. Hal ini meningkatkan ketegangan antar negara-negara dan kelas-kelas sosial dalam masyarakat.

Pada abad 16 kekuasaan gereja mendapati pemberontakan atas ketidakpuasan akan sikap kesewenang-wenangan pihak gereja Katolik. Tokoh-tokoh seperti Martin Luther dan John Calvin mendorong reformasi agama yang mencetuskan konflik di Eropa. Para tokoh Protestan berupaya memperjuangkan kebebasan beribadah dengan meminta konsesi terhadap keluarga Habsburg. Namun, hal tersebut tidak disetujui oleh pihak Habsburg dan menghasilkan penutupan gereja Lutheran di Bohemia.[3]

Hal ini memicu penyerbuan istana Praha oleh kaum Protestan yang tidak puas akan sikap tersebut dengan menangkap lalu melempar tiga pejabat katolik dari jendela istana. Sayangnya, situasi politik Jerman terfragmentasi menghasilkan lingkaran setan yang mengubah perjuangan lokal menjadi konflik yang meluas di Eropa. Di sisi lain Spanyol, Polandia, Katolik Jerman dan Paus datang untuk membantu Austria dalam menumpas pemberontakan Bohemian. Hal ini menyebabkan Denmark, Inggris dan Republik Belanda bergabung dalam konflik tersebut. Selama 30 tahun berikutnya, Belanda, Denmark, Prancis, Spanyol, dan Swedia digiring ke dalam perang.

Perlahan perang 30 tahun akhirnya menjadi medan perang kekuatan-kekuatan Eropa. Kronologi perang dimulai dari permusuhan antara Dinasti Bourbon (Prancis) dan Habsburg (Jerman) untuk memengaruhi kekuatan politik di Eropa yang akhirnya berkembang  menjadi perseturuan antara Prancis dengan Kekaisaran Romawi suci. Akhirnya Perang ini lebih sebagai perang antar kerajaan, bukan antar pemeluk agama seperti yang dijelaskan di awal. Para penguasa Katolik dan Protestan, sering kali didorong oleh ketamakan dan hasrat akan kuasa, bersaing merebut supremasi politik dan keuntungan komersial. Perang Tiga Puluh Tahun telah dibagi menjadi beberapa tahap, masing-masing dinamai menurut musuh-musuh utama kaisar. Beberapa karya referensi menyebutkan empat tahap tersebut: Perang Bohemia dan Palatin, Perang Denmark-Lower Saxony, Perang Swedia, dan Perang Prancis-Swedia.[4] Dampak paling besar dari Perang 30 Tahun ialah kerusakan besar pada setiap daerah konflik. Kelaparan dan penyakit mengurangi jumlah penduduk di Jerman, Bohemia, Belanda dan Italia, yang membuat bangkrut beberapa negara.

Akibat dari Perang Tiga puluh Tahun, Eropa diluluhlantakkan oleh penjarahan, pembunuhan, pemerkosaan dan penyakit. Lambat laun, suatu kerinduan akan perdamaian digencarkan oleh kesadaran bahwa perang ini tidak dapat dimenangkan oleh siapapun. Dalam buku vivat pax Es lebe der Friede mengatakan bahwa menjelang akhir tahun 1630-an, para pangeran yang berkuasa akhirnya sadar bahwa kekuasaan militer tidak dapat lagi membantu mencapai tujuan mereka.[5] Dari sini, Kaisar Ferdinand III dari Imperium Romawi Suci, Raja Louis XIII dari Prancis dan Ratu Christina dari Swedia sepakat bahwa diperlukan konferensi bagi semua pihak yang berperang untuk berkumpul dan merundingkan syarat-syarat perdamaian. Dua lokasi dipilih untuk pembicaraan tersebut yakni Osnabruck dan Munster di provinsi Westphalia, Jerman. Lokasi tersebut dipilih karena terletak di pertengahan antara ibukota Swedia dan Prancis.

Pada tahun 1643, sekitar 150 delegasi dengan tim penasihat tiba di kota ini yang mana delegasi Katolik berkumpul di Munster sedangkan delegasi Protestan di Osnabruck. Pertama, kaidah perilaku ditetapkan dalam pertemuan seperti penentuan gelar, pangkat para utusan, urutan tempat duduk dan prosedur pelaksaan, Kemudian, pembicaraan perdamaian dimulai, dengan disampaikannya usulan dari satu delegasi kepada delegasi lain melalui para perantara. Selama hampir 5 tahun, disaat perang masih saja berlangsung, syarat-syarat perdamaian pun akhirnya disepakati yakni Perjanjian Westphalia. Perjanjian ini mengakui prinsip kedaulatan yang berarti semua pihak dalam Perjanjian sepakat untuk saling menghormati hak teritorial semua pihak dan tidak mencampuri urusan intern mereka. Hal ini mengawali lahirnya Eropa modern dengan negara-negara berdaulat didalamnya sekaligus mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun.

Perumusan konsep kedaulatan (sovereignty) merupakan perkembangan terpenting yang mendorong terbantuknya Westphalian system. Konsep sovereignty berasal dari pemikiran Jean Bodin dan diartikan sebagai “absolute and perpetual power vested in a commonwealth.” Menurut Bodin sovereignty dibatasi oleh natural law, laws of God, jenis pemerintahan, dan perjanjian. Bartelson (2006) kemudian menjelaskan bagaimana kedaulatan dianggap sebagai konsep statis yang tidak tertandingi selama waktu yang lama dikarenakan variabilitas maknanya, lebih lanjut Bartelson mengatakan bahwa “Tension exists between traditional view of sovereignty as an indivisible and discrete condition of possible statehood, and the actual dispersion of political power and legal authority to the sub- and supranational levels”.[6]

Bagi John Locke, kedaulatan merupakan sebuah proses yang diarahkan menuju perdamaian yang diprakarsai oleh pemikiran rasional manusia yang menemukan bahwa hidup di masyarakat seharusnya diselenggarakan oleh semacam kekuasaan yang berdaulat merupakan cara terbaik dalam keberlangsungan hidup manusia. Hal ini diasarkan pada dua tesis yakni pertama, gagasan mengenai keadaan alam dan hak-hak alamiah dan kedua merupakan konseps moral yang penting dari pertahanan diri yang berasal dari hak milik.[7] Kedaulatan, diletakkan dalam beberapa bentuk kewenangan pemerintahan yang mana pemikiran Locke menjadi contoh ideal dalam menjamin dan mengatur setiap individu dalam keberlangsungan hidupnya. Dalam hal ini, kedaulatan oleh Locke dipahami sebagai identitas bersama masyarakat dan pemenuhan nasib perorangan.

Berbicara mengenai state-power, yang merupakan kekuatan negara dalam menjaga stabilitas nasional negaranya, Dengan hadirnya Westphalia, tiap negara memiliki batas-batas wilayah yang jelas dan memiliki urusan internal masing-masing yang tidak bisa dicampuri pihak lain. Namun dengan hadirnya negara-negara yang mendominasi, turut menjadikan politik luar negeri suatu negara bergantung dengan yang lainnya. Hal inilah yang mendasari konsep state-power dimana setiap negara pada dasarnya memiliki kekuatannya masing-masing guna mempertahankan kedaulatan negaranya. Kekuatan yang dimiliki tiap negara berbeda-beda tergantung terhadap variabel yang digunakan seperti misalnya, John Rennie Short (1993) membagi kekuatan tatanan dunia menjadi  superpower, major power, dan minor power. [8]Seorang tokoh geopolitik klasik, A. T. Mahan berpendapat bahwa tatanan dunia dibentuk oleh kekuatan darat dan kekuatan maritim dan ditambah oleh Spykman dengan kekuatan udara. Sedangkan pengelompokan negara berdasarkan variabel ekonomi yang paling populer adalah konsep geopolitik dari Immanuel Wallerstain yang mengelompokkan negara sebagai core, semiperipherial, dan pheripherial. Klasifikasi yang dipaparkan para ahli tersebut berkonsekuensi pada sejauh mana negara mampu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh konstelasi dunia internasional.

Menurut J. R. Short negara major power adalah negara yang memiliki pengaruh kuat di dunia tetapi tidak sekuat negara superpower. Posisi negara ini terletak di antara titik ekstrem penurunan superpower dan naiknya minor power. Negara minor power merupakan negara yang hanya memiliki peranan yang kecil dalam dunia internasional dan oleh karena itu selalu menerima dampak dari foreign policy negara superpower maupun major power.[9] Negara minor power secara geopolitik memiliki potensi sumber daya baik alam maupun manusia yang melebihi negara superpower dan major power. Namun, mereka sering terlibat konflik internal yang menyebabkan ketidakfokusan dalam urusan ketatanegaraan dan pengembangan potensi yang ada sehingga negara superpower dan major power  berlomba-lomba menguasai negara minor power.

Tokoh-tokoh terkenal yang turut berperan besar dalam Westphalia adalah Mazarin dan Richelieu. Richelieu merupakan orang berpengaruh yang membangun perubahan dalam Eropa, dengan melihat kesempatan pembentukan individu yang kuat di Eropa. Saat usia 28 tahun, Richelieu sudah memiliki reputasi yang baik dalam hal keuskupan di gerejanya. Dari sini, Richelieu cukup impresif untuk menarik perhatian penguasa Prancis pada masanya yakni Marie de Medici. Richelieu kemudian dipercaya dalam hal peperangan dan politik luar negeri. Selanjutnya, Giulio Mazarini alias Kardinal Mazarin merupakan arsitek utama dari Perdamaian Westphalia.[10] Hal ini dapat dilihat dari hasil karya Mazarin dan tim diplomatiknya dalam misi perdamaian di Munster dan Osnabruck.

Perundingan – perundingan tersebut tidak serta-merta langsung menghasilkan perjanjian permadamaian, diperlukan adanya perundingan dan perubahan pemikiran yang berubah dari bulan ke bulan. Kesuksesan Mazarin dan Richeleu dilihat dari kemampuannya mempengaruhi banyak orang yang memungkinkan mereka untuk menjaga kekuasaan dan meningkatkan kekuasaannya. Menurut Sonnino, Mazarin telah mengembangkan seni negosiasi perdamaian dengan negosiator utamanya adalah Caluse d’Avaux dan Abel Servien.[11] Negosiasi yang dilakukan sukses membawa keuntungan bagi Prancis dengan pemikiran dan proposal yang reliable terhadap masanya. Perundingan yang dilaksanakan akhirnya menggiring Eropa pada perdamaian.

Dari peristiwa-peristiwa tersebut dapat dilihat kontribusi perkembangan diplomasi yang turut berkembang di dalamnya. Dari Perang Tiga Puluh Tahun yang menciptakan konflik luas dan paling lama di Eropa menghadirkan dinamika kekuasaan yang berpengaruh terhadap pola diplomasi. Perang yang pada awalnya merupakan konflik agama berevolusi menjadi konflik politik yang membuktikan konflik politik dan kekuasaan merupakan isu yang selalu menjadi perhatian, meskipun menggunakan dimensi yang berbeda.

Perang yang tiada habisnya menimbulkan kesadaran bahwa agresi militer tidak lagi mampu membantu negara dalam mencapai tujuannya. Hal inilah yang menyebabkan diplomasi semakin berkembang pada Perang Tiga Puluh Tahun. Perundingan-perundingan yang terjadi selama perang memicu hadirnya konsep diplomasi modern yang dikenal seperti sekarang ini.

 

[1] Britannica.com. 2014. The Thrity Years War [online] Terdapat di : www.britannica.com/EBchecked/topic/592619/Thirty-Years-War.

[2] Wilson, Peter H., 2011. The Thirty Years War : Europe’s Tragedy. Belknap Press. Reprint edition.

[3] HistoryLearningSite.co.uk. 2006. Thirty Years War [online] Terdapat di : http://www.historylearningsite.co.uk/thirty_years_war.htm.

[4] Wol.jw.org, 2004. Perdamaian Westphalia – Titik Balik Eropa [online] Terdapat di : http://wol.jw.org/en/wol/d/r25/lp-in/2004205.

[5] Britannica.com. 2014. The Thrity Years War [online] Terdapat di : www.britannica.com/EBchecked/topic/592619/Thirty-Years-War.

[6] Bartelson, J. 2006. Genealogy of Sovereignty. Cambridge University Press.

[7] Hirzel, Tabea. 2009. The Concept of Sovereignty. University Swiss Management Center.

[8] SHORT, J.R. (1993) “The State and The World Order” dalam An Introduction to Political Geography. London: Routledge.

[9] Ibid

[10] Baumgartner, Federic. J. 2009. Mazarin’s Quest: The Congress of Westphalia and the Coming of the Fronde. The Journal of Military History Volume 73.

[11] Ibid