DPR Resmi Sahkan Revisi UU PPP Terkait Omnibus Law, Apa Selanjutnya?

Rapat Paripurna DPR secara resmi telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) yang menjadi landasan hukum UU Omnibus Law Cipta Kerja, pada Selasa, 24 Mei. Pengesahan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-23 masa sidang V tahun sidang 2021-2022 yang langsung dipimpin Ketua DPR Puan Maharani.

“Apakah RUU tentang perubahan kedua atas UU nomor 13 tahun 2011 tentang PPP dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” tanya Puan dan dijawab setuju serentak oleh anggota DPR RI yang hadir sebanyak 338 anggota. Dengan 56 orang hadir secara langsung dan 220 lainnya hadir secara virtual, sedangkan, sebanyak 62 orang tak hadir atau izin. “Dengan demikian kuota forum (kuorum) telah tercapai,” kata Puan dilansir dari CNN. Puan sebelumnya menyebut revisi UU PPP dilakukan pemerintah dan DPR karena tidak mengatur mekanisme pembentukan UU secara omnibus law atau gabungan.

Revisi UU PPP nantinya akan menjadi landasan hukum untuk memperbaiki UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam amar putusannya, MK sebelumnya agar UU Cipta Kerja diperbaiki dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Jika dalam tenggang waktu tersebut tidak diperbaiki, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen. Revisi UU PPP telah disepakati dalam pengambilan keputusan tingkat satu pada 13 April 2022. UU PPP disetujui delapan dari sembilan fraksi. Hanya Fraksi PKS yang menolak pengesahan UU PPP

Pada awal Juni ini, Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan buruh menolak pengesahan UU PPP. Menurutnya, puluhan ribu buruh di 34 provinsi akan turun ke jalan pada 8 Juni 2022 menolak UU PPP. Aksi akan dilakukan di sekitar Jakarta dan kantor-kantor gubernur di provinsi lainnya. “Alasan pertama menolak. Ini hanya akal-akalan produk hukum agar omnibus law bisa dibenarkan, berlaku di Indonesia. Maka dimasukkan dalam revisi UU PPP, bukan karena kebutuhan hukum,” jelas Said Iqbal secara daring, pada Selasa (31/5/2022) dilansir dari VOA Indonesia.

Said Iqbal menambahkan revisi undang-undang ini juga tidak melibatkan masyarakat terutama yang terdampak udang-undang secara luas, melainkan hanya dari perwakilan kampus. Selain itu, revisi undang-undang ini juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena dapat direvisi dalam waktu dua minggu saja. Selain itu, Revisi UU PPP ini sendiri dinilai oleh Rebecca Ray, peneliti akademis senior di Pusat Kebijakan Pembangunan Global Universitas Boston, mengatakan bahwa walaupun UU PPP ini melonggarkan perlindungan terhadap lingkungan, hal ini tidak berarti China akan memberikan investasi lebih banyak untuk Indonesia.