The Three Seas Initiative: Sebuah Perlawanan terhadap Pengaruh China di Eropa?

Selama satu abad terakhir, tatanan politik Eropa Tengah telah menyaksikan pola hubungan love-hate relations ideologis Jerman-Rusia. Wilayah di antara kedua negara tersebut, dari Balkan hingga Baltik, secara bergantian dikuasai oleh salah satu negara, biasanya dengan tanggung jawab bersama. Setiap kali mereka gagal mencapai kesepakatan tentang pembagian kekuasaan, kekosongan politik terbentuk, dan perang dunia pun pecah. Perang Dunia Pertama melibatkan kekosongan Balkan, diikuti oleh kekosongan Eropa Tengah dan Timur (Central and Eastern Europe/CEE) yang menyebabkan Perang Dunia II. Perang Dingin meletus ketika pengaruh Soviet di wilayah tersebut melebihi batas yang dapat diterima dari konsensus sebelumnya, sementara perang saat ini, invasi Rusia ke tetangganya, jelas merupakan hasil dari kekosongan Ukraina.

Sekarang, kawasan ini menghadapi situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di Eropa. Dengan runtuhnya paradigma Rusia-Jerman untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II, kedua negara ini telah kehilangan kehebatan politiknya di wilayah tersebut. Pengaruh ekonomi Rusia di Eropa telah runtuh, sementara model pertumbuhan Jerman yang unik telah berkurang secara dramatis, begitu pula perannya sebagai otoritas moral utama Uni Eropa.

Iklim geopolitik yang berkembang ini merupakan peluang unik bagi negara-negara CEE untuk menciptakan arsitektur keamanan ekonomi Eropa yang baru dan bertanggung jawab. Tetapi kekosongan politik Eurasia ini juga menghadirkan ancaman eksistensial bagi kawasan ini jika pada akhirnya diisi oleh pengaruh yang berbeda: pengaruh Partai Komunis China (PKC).

 

Perpanjangan Tangan PKC

Bahkan sebelum invasi Rusia ke Ukraina, PKC telah mencari pengaruh di kawasan ini melalui Belt and Road Initiative (BRI) dan Kerja Sama antara China dan Negara-Negara Eropa Tengah dan Timur, atau blok 17+1. Akan tetapi, sanksi Barat terhadap Rusia memaksa Moskow untuk bergantung pada Beijing untuk mengekspor produk dan penggunaan bahan ganda untuk digunakan oleh militer Rusia, termasuk microchip, aluminium oksida, dan bahan mentah lainnya, yang menyebabkan negara-negara Baltik mengakhiri kerja sama dengan Beijing. Masa depan platform kerja sama antara China dan negara-negara CEE masih belum jelas.

Bahkan tanpa BRI atau inisiatif resmi China/CEE lainnya, hubungan ekonomi yang erat antara Beijing dan Eropa Tengah dan Timur menimbulkan risiko bagi kawasan ini, termasuk ekspor model ekonomi merkantilis-komunis PKC dan otoritarianisme teknologi. China mempertahankan kemampuan untuk memaksa mitra dagang CEE melalui ketergantungan ekonomi asimetris yang terus berlanjut di kawasan ini terhadap impor China. Perdagangan tidak dibalas secara adil, karena China mengamankan rantai pasokan yang menguntungkannya dan mengakhiri ketergantungannya pada impor asing bernilai tinggi melalui model ekonomi “sirkulasi ganda” PKC.

Beijing telah mengeksploitasi ketergantungan ekonomi ini lebih lanjut melalui dukungannya terhadap jalur kereta api Trans-Asia ke Polandia dan Republik Ceko, yang seolah-olah menawarkan rute perdagangan yang menarik dan berkembang pesat serta pusat bagi China untuk wilayah tersebut. Namun, bagi Cina, jalur kereta api ini lebih dari sekadar perdagangan. Rute sepanjang 9.500 kilometer ini merupakan alternatif potensial untuk rute perdagangan Indo-Pasifik. Jika terjadi permusuhan di Selat Taiwan, rute ini mungkin satu-satunya cara bagi China untuk mengekspor barang dengan cepat ke Barat. Dengan membangun ketergantungan perdagangan di kawasan ini dan menembus pasar CEE yang dianggap sangat bersahabat dengan Amerika Serikat, China dapat menciptakan keuntungan strategis baru dan mendorong irisan dalam kemitraan Barat.

Oleh karena itu, minat China untuk memperluas rute perdagangan bersejarah dan mengembangkan kerja sama di CEE tidaklah mengherankan. Dengan latar belakang gejolak geopolitik di kawasan ini, pengaruh PKC, bersama dengan Rusia-Ukraina dan ketegangan di sekitar Taiwan, mungkin merupakan salah satu tantangan yang lebih serius bagi Barat saat ini.

Memasuki the Three Seas

The Three Seas Initiative (TSI), sebuah forum pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang terdiri dari dua belas negara Uni Eropa di kawasan Eropa Timur antara Laut Baltik, Laut Hitam, dan Laut Adriatik, dapat membantu melawan ancaman otokratis baik dari Rusia maupun China. Melalui struktur keamanan regional, kerja sama militer, dan inisiatif infrastruktur bersama, TSI dapat membantu kawasan ini mengamankan rantai pasokan, mewujudkan ketahanan energi, dan mendapatkan kemandirian dari investasi RRT, serta mengembangkan arsitektur keamanan regional baru untuk merespons tantangan geopolitik di masa depan.

Investasi di CEE sangat dibutuhkan karena pemerintah anggota TSI terus menghadapi tekanan ekonomi akibat inflasi, Perang Rusia-Ukraina, dan pemulihan yang lambat dari karantina wilayah akibat pandemi virus korona. Pemerintah daerah tidak dapat diharapkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur regional, dan negara-negara G7 seperti Amerika Serikat atau Inggris juga tidak dapat diandalkan untuk investasi ketika prioritas mereka adalah mendanai bantuan militer Ukraina.

Begitu solusi politik tercapai, mengakhiri permusuhan antara Moskow dan Kyiv, prioritas akan bergeser dari membantu Ukraina secara militer menjadi membantu rekonstruksi negara tersebut. Dana Investasi Inisiatif Tiga Laut (Three Seas Initiative Investment Fund/TSIIF) yang membantu membiayai proyek-proyek transportasi, energi, dan infrastruktur digital, harus memainkan peran penting dalam tidak hanya membangun kembali Ukraina, tetapi juga memastikan bahwa seluruh ekonomi kawasan CEE tetap tidak rentan terhadap pengaruh Rusia, China, atau aktor-aktor lainnya.

TSIIF harus mencari investasi dari ekuitas swasta, dana pensiun yang ingin mendiversifikasi investasi dari pasar ekuitas yang tidak menentu, dan mitra Indo-Pasifik yang kaya yang tidak terpengaruh oleh gejolak regional akibat perang dan memiliki cadangan mata uang asing yang signifikan. TSI juga harus bekerja sama dengan Korporasi Keuangan Pembangunan Internasional AS (DFC) untuk memperluas Blue Dot Network (BDN) ke CEE, dan membantu menarik lebih banyak investasi swasta melalui sertifikasi proyek-proyek infrastruktur oleh anggota BDN, yaitu Amerika, Australia, dan Jepang.

Saat ini, sebagian besar negara Barat yang membantu Ukraina melakukannya melalui penyeberangan perbatasan di Polandia atau Rumania, tetapi sebagian besar kegiatan dilakukan secara mandiri oleh masing-masing negara. NATO dan Uni Eropa tentu saja terlibat dalam memberikan bantuan kepada Ukraina, tetapi bahkan mereka tidak melakukan koordinasi yang luas. Dengan menggunakan TSI untuk mengoordinasikan tidak hanya logistik tetapi juga untuk bermitra dalam transformasi Ukraina menjadi negara demokrasi Barat yang makmur, CEE dapat membangun arsitektur yang luas yang tahan terhadap infiltrasi PKC lebih lanjut di wilayah tersebut.