Rare Earths : Kekuatan China, Kerentanan AS
Bulan lalu, pemerintahan Biden memulai kontrol ekspor komprehensif pada industri semikonduktor China. Kontrol ini bisa dibilang yang paling ketat yang dilakukan AS pada mitra dagang utama sejak embargo minyak AS terhadap Jepang pada tahun 1941. Kontrol ini juga mewakili perubahan signifikan dalam kebijakan perdagangan AS dengan China. Apa yang dimulai sebagai perselisihan perdagangan yang sengit telah meningkat menjadi perang ekonomi terbuka yang memperebutkan teknologi semikonduktor. Untuk mengantisipasi tanggapan balasan dari China, pemerintahan Biden harus memprioritaskan pengurangan kerentanan dalam rantai pasokan AS. Tanah jarang — penting untuk industri modern dan sistem pertahanan — menghadirkan kerentanan AS yang sangat akut karena China mengontrol 80% pasokan dunia.
Rare Earths: Tumit Achilles Amerika?
‘Rare earths’ (logam tanah jarang) adalah istilah umum untuk menggambarkan 17 elemen yang dibutuhkan dalam berbagai aplikasi industri dan pertahanan termasuk kendaraan listrik, turbin angin, peralatan komunikasi militer, dan sistem panduan rudal. Meskipun unsur-unsur itu sendiri tidak jarang di kerak bumi, endapan terkonsentrasi darinya cukup langka. Adapun proses mengekstraksi dan mengolahnya membutuhkan biaya mahal dan seringkali berbahaya bagi lingkungan.
Pada 1980-an, ketika permintaan industri dunia hanya sebagian kecil dari permintaan saat ini, AS memproduksi dan memproses lebih dari separuh logam tanah jarang di dunia. Namun, dalam beberapa dekade berikutnya, China banyak berinvestasi dalam penambangan dan pemrosesan logam tanah jarang yang secara alami berlimpah di wilayah Baratnya. Investasi ini sangat sukses sehingga pada tahun 2010, China memproduksi 93% pasokan dunia.
Pada tahun yang sama, pertikaian diplomatik antara China dan Jepang menyoroti betapa bergantungnya ekonomi global pada logam tanah jarang dari China. Sebagai hukuman karena menangkap kapten kapal penangkap ikan China di perairan yang disengketakan, China menghentikan sementara pengiriman logam tanah jarang ke Jepang, menyebabkan harga global meningkat lebih dari 300%. Hal ini memberikan gambaran jelas bagi para pembuat kebijakan di AS dan Jepang bahwa kendali China atas unsur-unsur yang sangat diperlukan ini telah menjadi risiko keamanan nasional.
Pada tahun-tahun berikutnya, para negara industry ini berupaya untuk mendiversifikasi rantai pasokan dan mempromosikan penambangan logam tanah jarang di dalam negeri memiliki keberhasilan yang beragam. Jepang mampu mengurangi ketergantungannya pada tanah jarang China dengan berinvestasi di Lynas Corp milik Australia, salah satu dari sedikit perusahaan Barat yang terlibat dalam penambangan dan pemrosesan logam tanah jarang. Proyek logam tanah jarang yang didanai Jepang di Namibia juga telah membantu Jepang mendiversifikasi rantai pasokannya. Saat ini, impor China hanya mencakup 58% dari konsumsi logam tanah jarang Jepang.
Upaya untuk mendiversifikasi rantai pasokan tanah jarang di AS kurang berhasil. Tambang Mountain Pass di California yang merupakan satu-satunya tambang logam tanah jarang di Amerika Utara dibuka kembali pada tahun 2018, tetapi bahan mentahnya diproses di China karena masalah lingkungan domestik AS. Pemerintahan Biden telah mengumumkan $156 juta untuk penelitian untuk mengekstrak logam tanah jarang dari limbah tambang, tetapi jumlah yang diumumkan adalah sebagian kecil dari tagihan infrastruktur $1,3 triliun yang baru saja disahkan dan mencerminkan kurangnya urgensi dalam mengatasi masalah tersebut. Saat ini, AS masih memperoleh 78% logam tanah jarangnya dari China. Meskipun upaya AS terbatas untuk menemukan sumber alternatif logam tanah jarang, AS tetap sangat bergantung pada China dan perusahaan milik China untuk pengolahan bahan kritis ini.
AS dapat bersaing dengan investasi sederhana dalam diversifikasi rantai pasokan dan produksi serta pemrosesan dalam negeri adalah hubungan AS-China dengan pijakan yang lebih kuat. Sayangnya, prospek hubungan tetap buruk, dan konsensus bipartisan tentang ancaman geopolitik China terhadap AS menunjukkan tidak ada pengurangan ketegangan dalam jangka pendek. Sebaliknya, kontrol ekspor semikonduktor pemerintahan Biden menunjukkan semakin memburuknya hubungan perdagangan AS-China. Strategi Keamanan Nasional AS tidak hanya berupaya untuk “mengalahkan persaingan” dengan China, tetapi juga “membatasi” akses China ke komputasi tingkat lanjut” dan “membatasi kemampuan China untuk mendapatkan chip komputasi tingkat lanjut atau mengembangkan kemampuan AI dan ‘superkomputer’ lebih lanjut.” Bahasa langsung seperti itu kemungkinan besar memperkuat keyakinan Beijing bahwa AS adalah aktor jahat yang bermaksud menghambat perkembangan teknologi China.