Alarm Demokrasi Tunisia: Saeid Menyalahgunakan Kekuasaan?

Pandemi Covid-19 kembali menunjukkan dampaknya pada kestabilan sosial politik suatu negara, terutama pada negara yang sudah mengalami instabilitas berkepanjangan seperti Tunisia. Pada Minggu (25/7) lalu, Presiden Tunisia Kais Saied membekukan parlemen dan memecat Perdana Menteri (PM) Tunisia Hichem Mechichi dengan dasar “tidak becus” menangani pandemi Covid-19. Keputusan ini dikritik oposisi dan diduga sebagai “kudeta” pemerintahan demokrasi. Keputusan ini mengundang ricuh demonstran pendukung dan oposisi, bahkan Saeid menggunakan kekuatan militer untuk membatasi pintu masuk gedung parlemen baik untuk demonstrator dan anggota parlemen sendiri. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?

Krisis Domestik Tunisia: Perseteruan Presiden dan PM

Tunisia merupakan negara di Afrika Utara yang juga menjadi satu-satunya negara dengan sistem demokrasi di antara negara Arab lainnya pasca peristiwa Arab Spring. Sistem yang dianut Tunisia merupakan unitary semi-presidensial (gabungan sistem parlementer dan presidensial). Saat ini presiden Saeid berkedudukan sebagai kepala negara, sedangkan (mantan) perdana menteri Hichem Mechichi sebagai kepala pemerintahan yang dipilih oleh parlemen Majlis Nuwwab ash-Sha’b. Secara umum, pasal 80 yang digunakan sebagai dasar keputusan Saeid menyatakan Presiden memiliki kuasa untuk menetapkan keputusan pada masa luar biasa seperti setelah berkonsultasi dengan Perdana Menteri dan Jubir Kabinet.[2] Masa luar biasa merujuk pada ancaman atau membahayakan integritas, keamanan, dan kemerdekaan negara. Namun, PM Mechichi menyatakan tidak ada konsultasi terlebih dahulu berkaitan dengan keputusan ini.

 

The National Conference of State Legislature menyatakan bahwa dalam sistem demokrasi terdapat pemisahan kekuasaan untuk meminimalisir pemusatan kekuasaan dan melaksanakan check and balance dalam formulasi kebijakan politik maupun pelaksanaan konstitusi.[3] Namun pada praktiknya, tidak banyak negara demokrasi yang pemisahan kekuasaannya benar-benar absolut karena adanya isu-isu yang tumpang tindih antar pemegang kekuasaan. Kondisi ini yang mendorong terjadinya kompetisi politik domestik yang juga terjadi Tunisia antara Presiden dan PM Tunisia. Pemecatan PM dan pembekuan parlemen oleh Presiden Tunisia menunjukkan puncak kompetisi kepentingan politik domestik Tunisia yang sudah berlangsung cukup lama.

 

Secara politik domestik, partai Ennahda yakni partai politik Muslim yang memegang mayoritas parlemen mengalami penurunan dukungan dari anggotanya, masyarakat, dan elite oposisi Tunisia. Terlebih saat Ia tahun 2020 lalu menemui Presiden Turki Erdogan, padahal kebijakan luar negeri menjadi salah satu tanggung jawab Presiden Tunisia.[4] Krisis politik juga terjadi antar kekuasaan, di mana hubungan PM dan Presiden memanas saat (mantan) PM Mechichi mengumumkan reshuffle kabinet, namun Saeid menolak untuk melantik dan menggelar perayaannya.[5] Kondisi ini menunjukkan kompetisi politik yang merusak perpolitikan itu sendiri, sehingga menimbulkan dampak lain yakni hambatan formulasi kebijakan yang memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat Tunisia.

Masyarakat Tunisia Menginginkan Perubahan

Peran, partisipasi, dan kedaulatan rakyat menjadi instrumen utama penyelenggaraan negara demokrasi. Pada prinsipnya, protes yang terjadi dalam negara demokrasi merupakan instrumen penting demi menjamin adanya kebebasan penyampaian pendapat dan menuntut kebijakan pemerintah atas permasalahan domestik. Dalam kasus Tunisia, selama satu dekade terakhir negara ini, terutama pasca pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi nasional terus menurun, namun tingkat utang terus meningkat. Kegagalan dalam mengatasi pandemi Covid-19 juga menjadi isu tambahan, di mana Tunisia memiliki tingkat infeksi Covid-19 terburuk di Afrika.[6]

 

Produk Domestik Bruto (PDB) Tunisia menurun sebanyak 8.8 persen tahun 2020, ditambah dengan tingkat penggangguran yang tinggi sekitar 17,8 persen di kuartal pertama tahun 2021.[7] Kondisi perekonomian buruk ini semakin meningkatkan kemiskinan dan kerentanan di masyarakat Tunisia, sehingga turun ke jalan memprotes kebijakan pemerintah. Kondisi kemiskinan di Tunisia diperparah dengan tindakan korupsi elite politik yang diklaim Saeid terdapat sekitar 460 pebisnis “berutang” USD4,9 miliar ke negara pada masa pemerintahannya hingga tahun 2011 lalu.[8] Permainan politik ini yang ingin diubah Saeid, sehingga meskipun keputusannya memicu pertentangan di antara elite politik, namun tidak sedikit juga masyarakat yang mendukung langkah revolusi Presiden Saeid.

 

Ketidakpuasan masyarakat Tunisia ditunjukkan melalui survei dari International Republican Institute pada September-October tahun 2020 yang menunjukkan hanya sekitar 20 persen masyarakat Tunisia yang percaya partai politik efektif dalam mengatasi permasalahan domestik dan hanya 41 persen percaya pada pemerintah nasional.[9] Ketidakpuasan masyarakat mampu memengaruhi legitimasi pemerintahan yang sedang berkuasa, yakni Presiden Saeid dan (mantan) PM Heichichi. Momen ini yang digunakan Saeid untuk memperkuat kepemimpinan domestiknya untuk membawa perubahan menggunakan metodenya. Saeid juga sudah menunjuk mantan penasihat keamanan presiden yakni Ridha Garsalaoui untuk menggantikan posisi menteri.[10]

 

Protes Tunisia tidak hanya menunjukkan elite politik yang terpecah, namun juga kelompok masyarakat yang menginginkan adanya perubahan pemegang kekuasaan dan pengendalian kondisi kebutuhan dasar yang lebih baik. Dengan langkah Presiden Saeid, perubahan pemegang kekuasaan kementerian diharapkan dapat juga membawa perubahan untuk pemulihan kondisi sosial dan ekonomi Tunisia. Mengingat masih mudanya pembentukan konstitusi dan demokrasi di Tunisia, kompetisi merusak antar elite politik hanya akan memperburuk perkembangan politik domestik. Diperlukan dialog untuk mencegah dan mengatasi perseteruan politik domestik yang ada.

 


[1] CNN Indonesia, (2021), Tunisia Rusuh Usai Presiden Saied Dituding Lakukan Kudeta, CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210726173529-127-672425/tunisia-rusuh-usai-presiden-saied-dituding-lakukan-kudeta

[2] Saleh Al-Dahni, (2021), What is Article 80 which Tunisia’s president has used to justify his ‘coup’?, Middle East Monitor, https://www.middleeastmonitor.com/20210727-what-is-article-80-which-tunisias-president-has-used-to-justify-his-coup/

[3] National Conference of State Legislature, (2021), Separation of Powers–An Overview, NCSL, https://www.ncsl.org/research/about-state-legislatures/separation-of-powers-an-overview.aspx

[4] Marina Ottaway, (2021), Tunisia: Political Parties and Democracy in Crisis, Wilson Center, https://www.wilsoncenter.org/article/tunisia-political-parties-and-democracy-crisis

[5] Yousra Ounnas, (2021), Ennahda calls for consultations to preserve Tunisian democratic gains, Anadolu Agency, https://www.aa.com.tr/en/middle-east/ennahda-calls-for-consultations-to-preserve-tunisian-democratic-gains/2315657

[6] Jihed Abidellaoui, (2021), Anger over Tunisia’s pandemic failures fuels political crisis, Euro News, https://www.euronews.com/2021/08/02/us-tunisia-politics-health

[7] The World Bank, (n.d.), The World Bank in Tunisia, The World Bank, https://www.worldbank.org/en/country/tunisia/overview

[8] Al Jazeera, (2021), Under pressure, Saeid appoints Tunisia’s new interior minister, Al Jazeera, https://www.aljazeera.com/news/2021/7/30/tunisias-saied-names-interior-minister-vows-to-protect-freedoms

[9] Marina Ottaway, Op.cit.

[10] Al Jazeera, Op.cit.