Melihat Tantangan Multikultural Melalui Meitei dan Kuki

Sejak Mei 2023, telah berlangsung bentrokan antar etnis Meitei dan Kuki di Manipur, India, dan memakan korban jiwa. Bentrokan terjadi berulang kali, hingga pada September 2024, kedua etnis dikabarkan terlibat dalam bentrokan yang semakin intens, dengan beberapa pihak mulai menggunakan drone dalam konflik mereka. Polisi menduga bahwa pesawat tanpa awak tersebut digunakan oleh militan Kuki, namun dibantah oleh kelompok Kuki.

Pada Senin (9/9), ratusan mahasiswa Meitei lalu turun ke jalan dalam rangka protes serangan pesawat tanpa awak tersebut, dan menyerukan perubahan dalam kepemimpinan “komando terpadu” negara bagian yang mengawasi keamanan. Seorang pejabat polisi di distrik Thoubal, mengatakan: massa besar “mengalahkan personel yang bertugas”, merampas senjata, dan menembaki polisi. Polisi lalu menggunakan kekuatan minimum sebagai tindakan pencegahan untuk mengendalikan massa, dan menambahkan bahwa situasi telah terkendali.

 

Bentrokan Meitei dan Kuki

Bentrokan ini dipicu oleh perselisihan terkait akses terhadap pekerjaan pemerintah dan manfaat lainnya, dengan kedua kelompok bersaing untuk mendapatkan status “Suku Terjadwal” (Scheduled Tribe) serta akses ke pekerjaan publik dan pendidikan.

Dengan status “Suku Terjadwal”, sekelompok etnis dapat meraih sejumlah pekerjaan mapan di pemerintahan, slot penerimaan perguruan tinggi, hingga kursi perwakilan dari tingkat dewan desa hingga parlemen. Privilese itu diberikan pemerintah sebagai bentuk upaya afirmatif untuk mengatasi ketidaksetaraan dan diskriminasi struktural historis.

Suku Meitei, merupakan etnis terbesar di Manipur, dan suku Kuki, merupakan bagian dari etnis minoritas. Suku Meitei terdiri dari mayoritas umat Hindu, sementara suku Kuki terdiri dari umat Kristen. Suku Kuki diketahui telah lebih dulu mendapatkan status “Suku Terjadwal”. Namun, ketika suku Meitei berambisi untuk juga mendapatkan status “Suku Terjadwal”, bentrokan pertama kali meletus di distrik negara bagian Churachandpur, di mana anggota suku Kuki memprotes tuntutan suku Meitei. Tuntutan tersebut dikhawatirkan dapat memberikan suku lain kesempatan yang tidak adil untuk mendapatkan pekerjaan dan keuntungan lainnya, bila Meitei berhasil ditetapkan sebagai “Suku Terjadwal”.

Akibat konflik ini, terjadi kerusakan parah seperti pembakaran rumah dan gereja, serta ribuan orang terpaksa mengungsi ke kamp-kamp yang disediakan pemerintah India. Sejak konflik dimulai, setidaknya 225 orang tewas dan sekitar 60.000 orang mengungsi. Selain itu, dua wanita dari etnis minoritas Kuki mengalami penganiayaan brutal, termasuk pemerkosaan beramai-ramai oleh massa yang sebagian besar merupakan anggota etnis mayoritas Meitei.

Dalam menangani bentrok yang terjadi, pemerintah India telah mengambil langkah-langkah untuk menangani bentrokan, termasuk dengan membatalkan akses internet di negara bagian, dan memberlakukan jam malam. Manipur[1] telah mengalami bentrokan berkala selama lebih dari setahun, dan telah menimbulkan trauma mendalam bagi masyarakat di Manipur dan menyoroti kebutuhan akan solusi yang lebih efektif untuk mengatasi perselisihan etnis.

India adalah negeri yang beragam, dengan perpaduan berbagai kelompok agama dan etnis[2]. Melalui keberagaman tersebut, masyarakat India diharapkan dapat hidup berdampingan secara harmonis dan adil, menerapkan multikulturalisme[3]. Mereka dapat menerapkan konsep ‘salad bowl’, sebuah kondisi masyarakat heterogen di mana orang-orang tersebut hidup berdampingan tetapi tetap mempertahankan setidaknya beberapa karakteristik unik dari budaya tradisional mereka. Kondisi ini diibaratkan seperti bahan-bahan salad, ketika budaya yang berbeda disatukan, tetapi alih-alih menyatu menjadi satu budaya homogen, mereka mempertahankan cita rasa khas mereka. Namun demikian, pada sisi negatifnya, perbedaan budaya yang didorong oleh model ini dapat memecah belah masyarakat yang mengakibatkan prasangka dan diskriminasi[4].

Pada contoh bentrokan yang terjadi antara etnis Meitei dan Kuki, telah menandakan kurangnya kebijakan multikultural yang kemudian memengaruhi hubungan antara keduanya. Bentrokan yang terjadi mencernkan ketegangan yang berakar pada isu identitas[5][6], hak istimewa[7], dan akses terhadap sumber daya[8]. Dalam konteks ini, ada beberapa aspek multikultural yang dapat dikaji, terkait kebijakan afirmatif, kesetaraan akses, dan integrasi sosial.

 

Kebijakan afirmatif

Kebijakan afirmatif[9] merupakan bagian dari multikulturalisme yang bertujuan untuk mengatasi ketidaksetaraan historis dan diskriminasi struktural terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Di India, status “Suku Terjadwal” dirancang untuk memberikan akses yang lebih baik terhadap pekerjaan pemerintah, pendidikan, dan perwakilan politik bagi kelompok yang historis mengalami diskriminasi. Bagi Meitei dan Kuki, status ini sangat penting karena membuka pintu menuju peluang yang lebih baik dalam sistem pemerintahan dan pendidikan. Oleh karena itu, perlu untuk menggarisbawahi pentingnya kebijakan afirmatif dalam memperbaiki ketidakadilan sosial, namun juga menekankan perlunya pendekatan yang adil dan inklusif. Ketika kebijakan afirmatif diterapkan, harus dipastikan bahwa tidak ada kelompok yang merasa terancam atau terpinggirkan. Kebijakan afirmatif harus disertai dengan dialog dan negosiasi untuk menghindari dampak negatif yang tidak diinginkan.

Kesetaraan akses

Kesetaraan akses[10] juga merupakan prinsip penting dalam multikulturalisme. Hal ini menekankan bahwa semua individu dan kelompok harus memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh sumber daya dan manfaat sosial. Namun, konflik antara Meitei dan Kuki menunjukkan ketidaksetaraan dalam akses terhadap pekerjaan dan pendidikan, yang menyebabkan ketegangan antara kedua kelompok.

Suku Meitei, sebagai kelompok mayoritas di Manipur, merasa bahwa mereka juga berhak atas status “Suku Terjadwal” untuk mengimbangi ketidakadilan historis dan akses yang tidak adil terhadap peluang. Di sisi lain, suku Kuki merasa bahwa penambahan Meitei ke dalam kategori “Suku Terjadwal” akan mengurangi akses mereka yang sudah ada, dan dapat berpotensi membuat mereka menjadi kelompok yang lebih terpinggirkan. Konflik ini mencerminkan kegagalan dalam mengelola kesetaraan akses secara adil, di mana kebijakan yang ditujukan untuk memperbaiki ketidakadilan malah memperburuk ketegangan.

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang sensitif terhadap perbedaan dan kebutuhan spesifik dari setiap kelompok. Dalam mengatasi ketidaksetaraan, penting untuk melakukan evaluasi yang komprehensif terhadap dampak kebijakan afirmatif dan menyediakan mekanisme untuk penyesuaian jika diperlukan. Keterlibatan semua pihak dalam proses pembuatan keputusan adalah kunci untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tidak hanya memenuhi tujuan afirmatif tetapi juga tidak menimbulkan ketidakadilan baru.

Integrasi Sosial

Integrasi sosial[11] adalah aspek dari multikulturalisme yang menekankan pentingnya membangun hubungan yang harmonis antara berbagai kelompok etnis dan budaya. Bentrokan yang terjadi menunjukkan kegagalan dalam mencapai integrasi sosial yang efektif. Ketegangan antara Meitei dan Kuki yang melibatkan tindakan kekerasan, penghancuran properti, dan pelanggaran hak asasi manusia, semuanya merupakan indikasi bahwa hubungan antar-kelompok tidak sehat.

Untuk itu, dalam rangka mencapai integrasi sosial, perlu ada upaya bersama untuk membangun saluran komunikasi yang konstruktif, mengatasi prasangka, dan meningkatkan pemahaman antar-kelompok. Dalam kasus ini, pemerintah dan pemimpin komunitas dapat berperan aktif dalam mediasi dan dialog untuk mengurangi ketegangan dan mendorong pemulihan sosial. Program pendidikan multikultural yang mengedepankan saling pengertian dan penghargaan terhadap perbedaan juga dapat memainkan peran penting dalam membangun harmoni sosial.

 

 

[1] IWGIA, “Understanding the Complex Conflict Unfolding in Manipur,” Iwgia.Org, last modified 2023, https://www.iwgia.org/en/news/5329-understanding-complex-conflict-unfolding-manipur.html.

[2] Seuj Pratim Borah and Santana Saikia, “Multiculturalism In India: The Present Senario And Contemporary Challenges,” Journal of Positive School Psychology 6, no. 6 (2022): 3134–3137, https://journalppw.com/index.php/jpsp/article/view/7814.

[3] S Song, The Subject of Multiculturalism: Culture, Religion, Language, Ethnicity, Nationality, and Race?, New Waves in Political Philosophy, B. de Bruin and C. Zurn (Eds.) (New York: Palgrave Macmillan, 2008).

[4] Robert Longley, “What Is Multiculturalism? Definition, Theories, and Examples,” ThoughtCo., last modified 2024, https://www.thoughtco.com/what-is-multiculturalism-4689285.

[5] L D Worthy, T Lavigne, and F Romero, “Living in a Multicultural World,” in Culture and Psychology, 2018, 409–443.

[6] A Gutmann, Identity in Democracy (Princeton: Princeton University Press, 2003).

[7] University of Colorado Denver, “Power & Privilege,” Ucdenver.Edu, last modified 2024, https://www.ucdenver.edu/offices/equity/education-training/self-guided-learning/diversity-equity-and-inclusion-101#PowerPrivilege.

[8] IWGIA, “Understanding the Complex Conflict Unfolding in Manipur.”

[9] Jerome McCristal Culp Jr, “Diversity, Mulitculturalism, and Affirmative Action: Duke, the NAS, and Apartheid,” DePaul L. Rev. 41 (1991): 1141.

[10] Liata, N., & Fazal, K. (2021). Multikultural Dalam Perspektif Sosiologis. Abrahamic Religions: Jurnal Studi Agama-Agama, 188-201.

[11] Nicole Deitelhoff and Cord Schmelzle, “Social Integration Through Conflict: Mechanisms and Challenges in Pluralist Democracies,” Kolner Zeitschrift fur Soziologie und Sozialpsychologie 75 (2022): 69–93.