Dunia Semakin Panas, Efektifkan Perjanjian Lingkungan Internasional?
Panas ekstrem atau heatwave telah melanda wilayah Eropa, Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia, dengan suhu naik di atas 40 derajat Celcius di banyak tempat yang menyebabkan kebakaran hutan dan kematian akibat cuaca panas.
Pada pertengahan Juli, Kantor Meteorologi Inggris mengeluarkan peringatan “Panas ekstrim” level merah pertama untuk tanggal 18 dan 19 Juli 2022 di sebagian besar Inggris, termasuk London dan Manchester, karena suhu diperkirakan melebihi 400 C menjadikannya hari terpanas dalam catatan. Badan Keamanan Kesehatan Inggris juga meningkatkan peringatan kesehatan terkait panas dari tingkat tiga ke tingkat empat, rumah sakit di berbagai wilayah Inggris juga telah bersiap untuk lonjakan pasien terkait cuaca panas.[1]
Pada 19 Juli 2022, Inggris memecahkan rekor ‘hari terpanas’ dua kali pada Selasa (19 Juli). Rekor baru didokumentasikan di Bandara Heathrow dimana suhu mencapai 40,20 C hanya beberapa jam setelah Surrey mencatat suhu tertinggi baru 39,10 C. [2] Dimana sebelumnya suhu terpanas di Inggris tercatat dengan suhu 38.70 C di Cambridge University Botanic Garden pada 25 Juli 2019.
Dilansir dari Al Jazeera, setidaknya 22 negara telah mencatat suhu maksimum 500 C atau lebih walaupun sampai saat ini.[3] Sebelumnya, rekor suhu terpanas tercatat pada tahun 2017, Iran memegang rekor terpanas di Asia suhu resmi 540 C, dan suhu tertinggi yang pernah tercatat di Eropa adalah 48,80 C di pulau Sisilia Italia pada 11 Agustus 2021.[4]
Dilansir dari Axios, penelitian menunjukkan panas ekstrem tertentu hampir tidak mungkin terjadi tanpa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Kondisi ini adalah keadaaan darurat kesehatan yang sangat berkaitan dengan perubahan iklim. Ratusan orang di Spanyol dan Portugal telah menjadi korban akibat tragedi ini.[5]
Hal ini menimbulkan satu pertanyaan: apakah perjanjian internasional benar-benar efektif?
Salah satu perjanjian terkenal dan terbesar yang “berusaha” menyelamatkan lingkungan adalah Perjanjian Paris tahun 2015. Kesepakatan tersebut dinegosiasikan oleh 196 pihak pada Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015 di Prancis. Perjanjian Paris adalah perjanjian perubahan iklim global universal pertama yang mengikat secara hukum dan diadopsi pada konferensi iklim Paris (COP21) pada bulan Desember 2015. Perjanjian ini menetapkan kerangka kerja secara global untuk menghindari perubahan iklim dengan membatasi pemanasan global dengan maksimal kenaikan suhu adalah 20 C, namun “berusaha” membatasinya hingga 1,50 C saja.
Hasil dari diskusi terkait perjanjian ini menetapkan bahwa perlunya emisi global mencapai puncaknya sesegera mungkin dan melakukan pengurangan cepat setelahnya untuk mencapai keseimbangan antara emisi dan serapan. Dan pada bulan Desember 2020, UE mengajukan NDC (Nationally Determined Contribution) yang diperbarui dan ditingkatkan dengan target untuk mengurangi emisi setidaknya 55% pada tahun 2030. Tenggat waktu untuk UE mengurangi emisi semakin dekat dan pembuat kebijakan akan berurusan dengan transisi menuju ekonomi yang bersih dan berkelanjutan meliputi: desain, standarisasi, infrastruktur, dan penggunaan energi berbasis lingkungan.[6]
Namun, banyak negara lain, yang masih memproduksi emisi gas lebih banyak, di antaranya adalah China (28%), Amerika Serikat (18%), India (7%), Rusia (5%), dan Jepang (3%), jika di total lebih dari 60% emisi global hanya berasal dari hanya lima negara.[7] Beberapa negara juga tampak tidak peduli terhadap kesepakatan ini. Di Brasil, di bawah pemerintahan Presiden Jair Bolsonaro, deforestasi telah melonjak di hutan Amazon.[8] Rusia, di sisi lain melancarkan invasi ke Ukraina yang menyebabkan konsekuensi lingkungan yang mengakibatkan kebakaran hutan, pencemaran udara, pencemaran tanah, pencemaran air, genangan dan kerusakan cagar alam.
Sebagai sebuah perjanjian internasional dengan sifat mengikat, masih banyak negara dan aktor lainnya yang melanggar perjanjian ini. Padahal seharusnya perjanjian ini menjadi pembatas bagi ruang gerak negara dalam melakukan kegiatannya, ditambah bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa, dimana kesepakatan ini dinegosiasikan nyatanya tidak dapat berbuat banyak. Bertolak belakang dengan asumsi neoliberalisme yang menyatakan bahwa negara harus memperhatikan keuntungan absolut daripada keuntungan relatif terhadap negara lain.[9]
Lewat penjelasan ini, secara umum dapat dikatakan bahwa negara-negara saat ini lebih mementingkan kepentingan nasionalnya dibandingkan kepentingan bersama, dibandingkan ancaman yang nyata dan perlahan merusak habitat manusia: perubahan iklim.
[1] Mohammed Haddad, “What is the highest temperature ever recorded in your country?”, Al Jazeera, 18 Juli 2022, https://www.aljazeera.com/news/2022/7/18/what-is-the-highest-temperature-ever-recorded-in-your-country
[2] Ellie Kemp, “1976 heatwave vs 2022 – how today’s hottest temperature in UK compares”, Manchester Evening News, 19 Juli 2022, https://www.manchestereveningnews.co.uk/news/uk-news/1976-heatwave-vs-2022-how-24530977
[3] Op. Cit., Haddad
[4] Ibid.
[5] Andrew Freedman, “Europe heat wave turns deadly as France and U.K. brace for hottest days on record”, 19 Juli 2022, Axios, https://www.axios.com/2022/07/18/europe-heat-wave-wildfires-record-temperatures
[6] Nerea Ruiz Fuente, Chloe Fayole, Ivo Cabral, “The year of truth for EU climate action – six policy trends to watch in 2022”, Eco Standard, 21 Februari 2022, https://ecostandard.org/news_events/the-year-of-truth-for-eu-climate-action-six-policy-trends-to-watch-in-2022/
[7] “Greenhouse gases by sector in 2022: who is polluting the most?”, Greenly Earth, 18 April 2022, https://www.greenly.earth/blog-en/greenhouse-gases-by-sector-in-2022-who-is-polluting-the-most
[8] https://www.science.org/content/article/paris-climate-pact-5-years-old-it-working
[9] Yahaya Garba Saleh dan Ali Usman Danwanzam, “Neoliberalism and International Organizations”, SCHOLEDGE International Journal of Multidiscplinary & Allied Studies, Vol.06, Issue 11, 2019, Hlm. 113-118