Merevolusi Energi: Urgensi Menjaga Iklim Bagi Negara-Negara Berkembang
Dunia telah mengalami hari dan bulan terpanas dalam sejarah pada tahun ini, bersamaan dengan rekor suhu es Antartika yang sangat rendah dan suhu laut yang sangat tinggi. Gelombang panas yang terik, berkurangnya kekeringan, dan terbatasnya sumber air adalah beberapa dampak yang dialami masyarakat di seluruh dunia. Negara-negara yang paling terkena dampak perubahan iklim adalah negara-negara berkembang dan kurang berkembang. KTT iklim PBB di Dubai (COP28) menghadirkan kesempatan sekali seumur hidup untuk membalikkan arah dan membangun masa depan yang lebih baik bagi manusia, lingkungan, dan iklim.
Bagi negara kurang berkembang terutama kepulauan kecil, mereka hanya menyumbang kurang dari 1% emisi gas rumah kaca, dibandingkan dengan 3,3% di negara kurang berkembang.[1] Di wilayah Afika, emisi karbon global hanya sebesar 4% atau 1,45 miliar ton, dan merupakan rumah bagi 17% populasi dunia.[2] Namun, negara-negar berkembang di berbagai belahan dunia kini tengah bergulat dengan dampak paling mematikan akibat pemanasan global, dengan tindakan preventif yang minim dan tidak jarang menyebabkan kerugian yang besar. Untuk itu, banyak dari negara berkembang yang berjanji untuk peduli dan memperbaiki penggunaan emisinya.
Menjelang COP28, Pemerintah Mozambik telah menyetujui rencana transisi energi baru yang ambisius hingga tahun 2050, dengan harapan dapat menarik investasi sekitar $80 miliar untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan dan meningkatkan ketersediaan listrik, kata seorang pejabat senior energi pada akhir November 2023 sebelum COP28 berlangsung.[3] Sebelumnya, wilayah ini juga menjadi tempat terjadinya kekeringan dan banjir terburuk dalam beberapa tahun terakhir, termasuk Topan Freddy yang melanda Malawi dan Mozambik awal tahun ini dan menewaskan lebih dari 500 orang serta ratusan korban jiwa lainnya.[4]
Akibat bencana alam ini, $150 juta dari dana yang disisihkan Bank Dunia untuk proyek-proyek di Mozambik telah ditransfer untuk mendukung pemulihan negara tersebut dari Topan Freddy di Afrika Selatan.[5] Salah satu badai paling mematikan yang melanda benua ini dalam 20 tahun terakhir adalah Freddy. Sebelum berbalik arah dan kembali mendarat pada bulan Maret, badai tersebut melanda Malawi, Mozambik, dan Madagaskar pada akhir bulan Februari. Di wilayah tersebut, tercatat sekitar 1.000 kematian.[6]
Sembilan puluh persen dari hampir dua juta kematian akibat bencana cuaca, iklim, dan air yang terjadi antara tahun 1970 dan 2021 terjadi di negara-negara berkembang.[7] Sebanyak 12.000 bencana alam yang tercatat di seluruh dunia selama periode ini mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar $4,3 triliun, dan negara-negara berkembanglah yang menanggung kerugian terbesar, sehingga semakin menghambat kemajuan negara mereka.[8] Hingga pada konferensi terbesar terkait perubahan iklim, COP28 yang diadakan pada akhir November 2023 di Uni Emirat Arab, para delegasi secara tak terduga memutuskan untuk membentuk kumpulan dana yang telah lama ditunggu-tunggu—terutama dari negara-negara berkembang—untuk mengkompensasi kerugian yang disebabkan oleh kekeringan dan badai yang disebabkan oleh perubahan iklim, pada hari pertama yang biasanya terjadi pada menit-menit terakhir konferensi.
Dengan menyampaikan keputusan tersebut pada hari pertama konferensi, Presiden COP28 Sultan al-Jaber menciptakan kehebohan. Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, dan negara-negara maju lain dengan cepat menjanjikan sumbangan lebih dari $400 juta untuk negara-negara berkembang yang menderita dampak perubahan iklim. Kesepakatan ini diperkirakan akan menghasilkan konsensus yang lebih berani dan komprehensif mengenai tindakan-tindakan selama KTT.[9] Hal ini telah membuat banyak negara berkembang “lega” dan percaya akan usaha untuk mempertahankan kenaikan suhu bumi di bawah 1.5 Celcius.
Mengapa banyak negara berkembang nampaknya lebih peduli terhadap isu lingkungan hidup?
Meskipun terlihat negara-negara maju melakukan upaya untuk mencegah perubahan iklim menjadi lebih buruk, namun dalam pemberitaan, banyak sekali negara-negara berkembang yang terlihat lebih bersemangat untuk menyelesaikan masalah lingkungan hidup, meskipun kondisi ekonomi dan ekonomi mereka tidak baik. Masalah politik terkadang masih perlu diselesaikan secara internal. Ada beberapa alasan mengapa banyak negara berkembang menunjukkan kepedulian yang kuat terhadap permasalahan lingkungan.
Penting untuk diketaui bahwa persepsi negara-negara berkembang yang kurang peduli terhadap lingkungan hidup adalah sebuah kesalahpahaman. Pada kenyataannya, banyak dari negara-negara tersebut yang secara aktif terlibat dalam mengatasi tantangan lingkungan hidup. Hal ini terlihat ketika negara-negara kepulauan sering meneriakkan resolusi seperti ini dalam pertemuan organisasi internasional. Tindakan seperti ini dapat dilihat sebagai ketergantungan terhadap alam dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Teori ketergantungan menunjukkan bahwa negara-negara berkembang seringkali rentan secara ekonomi dan lingkungan karena ketergantungan mereka pada negara-negara maju.
Teori ini berpendapat bahwa degradasi lingkungan di negara-negara berkembang dapat menjadi konsekuensi dari ketergantungan ekonomi mereka, sehingga membuat negara-negara tersebut lebih cenderung mengatasi permasalahan lingkungan sebagai cara untuk melepaskan diri dari ketergantungan. Teori ketergantungan berpendapat bahwa dunia terbagi menjadi sebuah negara maju (core country), yang terdiri dari negara-negara maju secara ekonomi dan negara-negara industri, dan sebuah pinggiran (periphery), yang terdiri dari negara-negara kurang berkembang yang menyediakan bahan mentah dan tenaga kerja murah ke negara-negara tersebut.
Negara-negara berkembang seringkali menghadapi peningkatan kerentanan terhadap dampak perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Negara-negara ini lebih rentan terhadap peristiwa cuaca ekstrem, naiknya permukaan air laut, dan dampak perubahan lingkungan lainnya, sehingga menjadikan lingkungan hidup sebagai isu penting bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan mereka. Hal ini sejalan dengan bagaimana sistem pemikiran ekonomi Schumpeter yang menyatakan adanya hubungan simbiosis yang diperlukan antara elemen ekonomi, sejarah, politik, sosial dan semua elemen lain termasuk lingkungan dari proses berfungsinya dan perkembangan dunia kapitalis.[10]
Fenomena ekonomi bukanlah sesuatu yang terisolasi dan tidak dapat ditentukan, namun hal ini tidak menjadi alasan untuk menjelaskan dunia ekonomi melalui faktor eksternal.[11] Banyak negara berkembang sangat bergantung pada pertanian, perikanan, dan sumber daya alam lainnya untuk penghidupan mereka. Degradasi lingkungan berdampak langsung pada sektor-sektor ini, sehingga mengarah pada pengakuan bahwa praktik lingkungan berkelanjutan sangat penting bagi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Negara-negara berkembang semakin menyadari pentingnya memasukkan kelestarian lingkungan ke dalam perencanaan ekonomi jangka panjang mereka. Teknologi ramah lingkungan dan praktik berkelanjutan dipandang sebagai jalan menuju pembangunan ekonomi yang meminimalkan dampak lingkungan.
[1] “The State of Climate Ambition: Snapshots for Least Developed Countries (LDCs) and Small Island Developing States (SIDS)”, UNDP, 17 Januari 2023, https://www.undp.org/publications/state-climate-ambition-snapshots-least-developed-countries-ldcs-and-small-island-developing-states-sids
[2] “Over 300 dead in Malawi, Mozambique as Cyclone Freddy losses pile”, Al Jazeera, 16 Maret 2023, https://www.aljazeera.com/news/2023/3/16/cyclone-freddy-toll-passes-300-as-mozambique-counts-bodies
[3] “Mozambique to present new $80bn energy transition plan at COP28”, Al Jazeera, 27 November 2023, https://www.aljazeera.com/news/2023/11/27/mozambique-to-present-new-80bn-energy-transition-plan-at-cop28
[4] Ibid.
[5] “World Bank Mobilizes $150 Million to Help Mozambique Recover From Cyclone Freddy
“, World Bank, 19 Mei 2023, https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2023/05/24/world-bank-mobilizes-150-million-to-help-afe-mozambique-recover-from-cyclone-freddy
[6] “World Bank gives Mozambique $150m for Cyclone Freddy recovery”, Al Jazeera, 19 Mei 2023, https://www.aljazeera.com/news/2023/5/19/world-bank-gives-mozambique-150m-for-cyclone-freddy-recovery
[7] “Economic costs of weather-related disasters soars but early warnings save lives”, World Meteorological Organization, 22 Mei 2023, https://wmo.int/news/media-centre/economic-costs-of-weather-related-disasters-soars-early-warnings-save-lives
[8] Josephine Latu-Sanft, “COP 28 Is a Crunch Point for Countries on the Front Lines of Climate Change”, Scientific American, 29 November 2023, https://www.scientificamerican.com/article/cop-28-is-a-crunch-point-for-countries-on-the-front-lines-of-climate-change1/
[9] Matt McGrath, “Poor countries win fight for climate cash at COP28”, BBC News, 1 Desember 2023, https://www.bbc.com/news/science-environment-67581277
[10] Alin Croitoru, “The Theory of Economic Development: An Inquiry into Profits, Capital, Credit, Interest, and the Business Cycle by Joseph Schumpeter “, Journal of Comparative Research In Anthropology And Sociology, Vol. 3, No. 2, 2012
[11] Ibid.