Mengenal FIR: Wilayah udara yang diambil kembali oleh Indonesia

Indonesia resmi mengambil alih ruang udara atau flighr information region (FIR) Kepulauan Riau dan Natuna yang sebelumnya dikelola Singapura setelah Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden FIR Indonesia dan Singapura. Kesepakatan ini merupakan langkah maju atas pengakuan internasional terhadap ruang udara Indonesia. “Berkat kerja keras semua pihak, kita telah berhasil mengembalikan pengelolaan ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna kepada NKRI,” kata Jokowi melalui Youtube Sekretariat Presiden, pada 8 Agustus 2022 lalu.[1]

“Ini menambah luasan FIR Jakarta menjadi 249.575 kilometer persegi,” ujarnya.[2] Pernyataan tersebut disampaikan dengan didampingi menyampaikan pernyataan yaitu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi. Lebih lanjut, Jokowi mengatakan, kesepakatan tersebut tidak hanya menegaskan kedaulatan ruang udara Indonesia, namun memberikan manfaat lainnya yaitu meningkatkan jaminan keselamatan dan keamanan penerbangan. Selain itu, hal ini juga dinilai bisa meningkatkan pendapatan negara bukan pajak.

Perpres tersebut ditetapkan sebagai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2022 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Penyesuaian Batas antara Flight Information Region Jakarta dan Flight Information Region Singapura yang diundangkan pada 5 September 2022. Kesepakatan terkait FIR antara Indonesia dan Singapura terjadi di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, pada awal tahun 2022 dengan penandatangan oleh Menhub Indonesia dengan Menteri Transportasi Singapura, S. Iswaran.

Permasalahan FIR ini sebelumnya sempat menjadi perbincangan karena dikaitkan dengan aspek kedaulatan negara. Menurut Luhut, hal tersebut tidak tepat sebab Indonesia dan Singapura memang negara bertetangga.[3] Ada hal-hal yang dianggap akan bersinggungan, salah satunya terkait ruang udara. Setelah wilayah FIR tersebut diresmikan, Luhut mengatakan, dengan kembalinya penguasaan pelayanan ruang udara di langit Natuna ke Indonesia memberikan kendali bagi Indonesia.[4]

Meski, Indonesia tetap terbuka bekerja sama dengan negara lain. Untuk itu, perbaikan kualitas sumber daya termasuk sumber daya manusia Indonesia harus ditingkatkan.[5] Lewat perjanjian ini, penerbangan dari Natuna dan Kepulauan Riau tidak perlu lagi melapor ke Singapura seperti yang selama ini dilakukan. Di mana sebelumnya kuasa negara atas langit Indonesia oleh Singapura itu ditetapkan dalam pertemuan ICAO di Dublin pada Maret 1946.

“Tapi, untuk kerja sama safety dan security, seperti Bapak Presiden sampaikan, kita train manusia kita, perbaiki angkatan kita. Dan, seperti bapak Presiden tadi sampaikan juga, akan menambah penerimaan negara juga dari pengontrolan ruang udara di situ,” tambah Luhut. Hal itu, lanjut Luhut, akan memberikan jaminan bagi kepentingan Indonesia, termasuk dalam mekanisme kerangka kerja sama sipil-militer kedua negara.[6]

Apa itu FIR?

EUROCONTROL ATM Lexicon mendefinisikan FIR sebagai “Suatu ruang udara dengan dimensi yang ditentukan di mana layanan informasi penerbangan dan layanan peringatan disediakan.” Wilayah udara dalam FIR biasanya dibagi menjadi beberapa bagian yang bervariasi dalam fungsi, ukuran dan klasifikasi.[7] Pesawat yang terbang di wilayah udara yang dikendalikan FIR tertentu harus mengikuti instruksi dari Air Traffic Controllers yang mengontrol wilayah udara itu.

Walaupun saat ini wilayah udara Indonesia telah diambil alih kembali, namun menurut penjelasan dalam Perpres terkait FIR Riau dan Natuna, Indonesia secara wajib mendelegasikan kepada Singapura penyediaan pelayanan navigasi penerbangan dengan ketinggian dari permukaan hingga 37.000 kaki di dalam batas FIR Jakarta yang disesuaikan. Untuk itu, Indonesia dan Singapura membentuk kerjasama sipil militer dalam manajemen lalu lintas penerbangan sesuai rekomendasi ICAO.

Salah satu rekomendasinya adalah agar personel Indonesia ditempatkan di Singapore Air Traffic Control Centre. Otoritas Indonesia juga bertanggungjawab untuk dan wajib bekerja sama dengan otoritas Republik Singapura terkait evaluasi operasional yang dibutuhkan guna memastikan pelayanan navigasi penerbangan sesuai standar dan rekomendasi ICAO. Selain itu, perjanjian ini pun berlaku untuk 25 tahun ke depan sejak penandatanganannya dan akan diperpanjang dengan persetujuan bersama apabila terdapat manfaat bagi keduanya.

Apa dampak positif dari pengambilalihan FIR bagi Indonesia?

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Novie Riyanto menyebut salah satu manfaatnya adalah peningkatan potensi pendapatan negara dari Pelayanan Jasa Navigasi Penerbangan (PJNP).[8] Kontrol FIR Natuna dapat sepenuhnya dikelola AirNav Indonesia pada 2032 atau selambatnya 2042. Hal itu dengan asumsi Singapura tidak lagi membutuhkan pengoperasian ATC di Bandara Changi. Untuk itu, peningkatan sumber daya manusia dan pembangunan infrastruktur harus ditingkatkan.

Keuntungan lainnya adalah dari segi dukungan kerahasiaan dan keamanan kegiatan Pemerintah RI. “Apabila pesawat RI take off dan landing di batas terluar wilayah Indonesia nantinya diplomatic clearance dikeluarkan oleh Indonesia. Selain itu, pesawat Indonesia kini patroli tak perlu izin dari negara lain. Dengan demikian, keselamatan dan kerahasiaan bisa ditangani Indonesia sendiri,”[9]

Selain itu, pengambilalihan wilayah FIR ini juga berkaitan dengan kedaulatan negara karena menyangkut wilayah negara. Menurut Morgenthau, kepemilikan itu sama halnya dengan kemerdekaan yaitu negara memiliki kewenangan sendiri, serta kesetaraan lainnya bahwa negara tidak memiliki kedudukan yang lebih tinggi atau rendah kedudukannya sebagai merdeka, dan kesepakatan yang terakhir yaitu konvensi antara negara berdaulat harus diterima oleh semua pihak.[10] Secara tidak langsung, argumen Morgenthau ini mengisyaratkan bahwa wilayah udara kedaulatan Indonesia sepatutnya digunakan dan diurus langsung oleh Indonesia dan Singapura harus menghormati itu karena sesuai dengan definisi dari kedaulatan yang perlu dihormati oleh semua aktor.

[1] Haryanti Puspa Sari, “Teken Perpres FIR, Jokowi: Kita Berhasil Kembalikan Ruang Udara Kepri dan Natuna ke NKRI”, Kompas, 8 September 2022, https://money.kompas.com/read/2022/09/08/125925526/teken-perpres-fir-jokowi-kita-berhasil-kembalikan-ruang-udara-kepri-dan-natuna?page=all

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ferry Sandi, “Jokowi Rebut Langit Natuna, Luhut: Dulu RI Gak Punya Kendali”, CNBC, 8 September 2022, https://www.cnbcindonesia.com/news/20220908113618-4-370333/jokowi-rebut-langit-natuna-luhut-dulu-ri-gak-punya-kendali

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] “Flight Information Regions (FIRs)”, Skyrbrary, https://skybrary.aero/articles/flight-information-regions-firs

[8] Andi M. Arief, “Kemenhub Beberkan Keuntungan RI dari Kesepakatan FIR dengan Singapura”, Katadata, 3 Februari 2022, https://katadata.co.id/agustiyanti/berita/61fbc38481fdb/kemenhub-beberkan-keuntungan-ri-dari-kesepakatan-fir-dengan-singapura

[9] “4 Keuntungan Ambil Alih Ruang Kendali Udara Bagi RI”, CNN, 5 Februari 2022, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220205001417-92-755332/4-keuntungan-ambil-alih-ruang-kendali-udara-bagi-ri

[10] Hans J. Morgenthau, “The  Problem  of  Sovereignty  Reconsidered.  Columbia  Law  Review”, 1948, hlm 347