Jepang mempertimbangkan mengerahkan rudal jarak jauh untuk melawan China

Ketegangan regional Asia Timur yang meningkat pasca kunjungan Nancy Pelosi, ketua DPR AS ke Taiwan mendorong reaksi keras Beijing, salah satunya meluncurkan lima rudal balistik ke Taiwan yang mana masuk ke zona ekonomi eksklusif Jepang di perairan dekat Prefektur Okinawa awal bulan ini.  Selain itu, keberadaan Korea Utara yang memiliki memiliki ratusan rudal balistik dan senjata nuklir yang mampu menyerang wilayah pertahanan Jepang telah memicu kekhawatiran bagi pemerintah Jepang. Terlebih terobosan terbaru Korea Utara yang mengklaim berhasil melakukan pengujian senjata hipersonik.

Keberadaan peluncuran rudal ini menyoroti kesenjangan rudal antara China dan Jepang. China memiliki sekitar 300 rudal jelajah berbasis darat dan 1.900 rudal balistik yang dapat menyerang Jepang.  Dengan tujuan mempersempit “kesenjangan rudal” yang besar dengan China, Jepang sedang mempertimbangkan untuk menggelar rudal jelajah jarak jauh guna meningkatkan kemampuan serangan baliknya terhadap China sebagaimana dilaporkan surat kabar Yomiuri pada hari Minggu (21/08) dengan mengutip dari para sumber-sumber pemerintah yang tidak disebutkan namanya.

Berdasarkan laporan Yomiuri, Kementerian Pertahanan Jepang sedang mengupayakan untuk menggelar rudal standoff Type-12 yang diluncurkan dari darat – yang mana rudal-rudal ini akan dimodifikasi dengan senjata yang ada untuk memperluas jangkauannya dari sekitar 200 kilometer (124 mil) hingga lebih dari 1.000 km, terutama ke pulau-pulau barat daya yang jauh dan wilayah Kyushu. Senjata ini diharapkan juga akan mampu diluncurkan dari kapal dan udara, yang akan ditempatkan terutama di sekitar pulau Nansei selatan dan mampu mencapai wilayah pesisir Korea Utara dan China. Adapun perwakilan dari kementerian luar negeri Jepang tidak segera menanggapi permintaan komentar atas laporan tersebut.

Untuk dapat memperoleh senjata ini dalam waktu dekat, Kementerian Pertahanan Jepang dapat memasukkan permintaan mereka pada saat pengajuan proposal anggaran awal untuk fiskal 2023 yang diharapkan akan dirilis pada akhir bulan ini. Mengingat keberadaan pertahanan Jepang yang tidak memiliki rudal jarak jauh itu di gudang senjatanya sebagai efek dari Perjanjian Kekuatan Nuklir Jarak Menengah yang melarang semua rudal berbasis darat dengan jangkauan 500 km hingga 5.500 km, meskipun Jepang telah mulai mengembangkan rudal itu. Melalui pengadaan rudal ini diharapkan akan meningkatkan kemampuan serangan balik yang akan memungkinkan bagi Jepang untuk menyerang pangkalan musuh beserta pusat komando dan kendali.

Pengadaan rudal ini akan menjadi inti pembicaraan pemerintah Jepang, yang diperkirakan akan memanas dalam beberapa bulan mendatang dan keputusan atas isu tersebut diharapkan akan dimasukkan dalam Strategi Keamanan Nasional yang direvisi Jepang dan akan selesai pada akhir tahun.

Para kritikus mengatakan setiap langkah untuk memperoleh kemampuan serangan balik akan menyimpang dari interpretasi tradisional Jepang tentang Konstitusi pasifismenya dan kebijakan berorientasi pertahanan eksklusif negara itu. Perdana Menteri Fumio Kishida, bagaimanapun, telah berulang kali menyatakan bahwa Jepang “akan secara drastis memperkuat kemampuan pertahanannya dalam lima tahun, tanpa mengesampingkan opsi apa pun, termasuk kepemilikan kemampuan serangan balik.”

Jepang, menafsirkan konstitusi pascaperang yang menolak perang tetapi dapat menggunakan militernya hanya untuk membela diri, telah meningkatkan pengeluaran militernya dan mengambil strategi yang lebih tegas dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi sejauh ini Jepang menahan diri untuk tidak mengerahkan rudal jarak jauh dan membatasi senjatanya yang dapat menyerang sasaran di tanah asing.