Produksi Nikel Indonesia: Kepentingan Lingkungan atau Ekonomi?

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil nikel paling banyak di dunia. Pada tahun 2021, lima negara penghasil nikel teratas adalah Indonesia, Filipina, Kaledonia Baru, Rusia, dan Australia.[1] Hal ini berhubungan dengan tren transisi energi yang telah menuntut negara untuk beralih ke energi “hijau” dan mengurangi energi fosil. Indonesia menjadi penyumbang utama pasokan nikel global pada tahun 2021, terutama karena ekspansi industri nikel dalam negeri dan pengembangan proyek high-pressure acid leaching (HPAL) di dalam negeri.[2]

Nikel sendiri dapat digunakan sebagai komponen dari energi hijau. Dalam pembangkit listrik tenaga angin, nikel dapat digunakan terutama dalam komponen roda gigi dan generator. Nikel juga digunakan dalam komponen penghasil bahan bakar listrik dengan mereaksikan sumber energi dengan zat pengoksidasi dimana nikel memiliki peran dalam hampir semua komponen penghasil bahan bakar tersebut.[3]

Pentingnya nikel sendiri juga berpengaruh karena mulai masuknya revolusi kendaraan listrik, untuk itu, kini Indonesia telah melobi OPEC, organisasi produsen minyak untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan transisi energi hijau.[4] Walaupun begitu, inisiatif Indonesia sendiri dirasa tidak mungkin oleh Kanada karena struktur pasar nikel dan minyak mentah berbeda.

OPEC sendiri merupakan negara pengekspor minyak yang telah berdiri lebih dari 60 tahun dan berperan dalam membentuk pasar minyak dunia dimana Indonesia pernah bergabung dengan OPEC namun keluar secara sukarela pada tahun 2008.

Tetapi, kampanye Indonesia sendiri dapat dikatakan merupakan indikasi dari bagaimana transisi energi bersih dapat merubah bentuk geopolitik karena cadangan nikel dan bahan tambang lainnya berpotensi memiliki nilia yang tinggi di masa depan. “Ini adalah cara yang menurut mereka (Indonesia) bisa lebih relevan dengan pasar energi global dan geopolitik, dan untuk menjadi bagian dari ekonomi energi yang sedang berkembang ini,” kata Jane Nakano, rekan senior yang berfokus pada keamanan energi dan perubahan iklim di Center for Strategic dan Studi Internasional.[5] Tetapi para pemimpin pemerintah sekarang berargumen bahwa kartel serupa untuk nikel dapat menguntungkan, meningkatkan koordinasi dengan produsen utama lainnya.

Tentu, Indonesia akan mendapat manfaat dari pergeseran ini. Perkembangan kapasitas pemrosesan nikel Indonesia sendiri meningkat sejak tahun 2020 dan bahkan sempat memicu sengketa dengan Uni Eropa ketika Jakarta melarang ekspor biji nikel ke daratan Eropa. Dalam booklet nikel yang diterbitkan oleh Kementerian energi dan sumber daya mineral Indonesia pada tahun 2020, Indonesia memiliki 52% cadangan nikel yang berbanding lurus dengan investasi asing sebesar $814 juta dollar AS pada tahun 2019.[6]

Di sisi lain, penyumbang nikel besar lainnya adalah Rusia sebesar 20% dari pasokan global tingkat nikel yang dibutuhkan untuk baterai, menurut Manthey. Dengan invasinya, tentu kini Indonesia tengah diuntungkan dengan kebutuhan nikel dan tren energi bersih pasca COP 27 beberapa waktu lalu. Bagi negara-negara yang sedang mengukur transisi energi bersih, tampaknya ini merupakan model yang memikat.

Apakah upaya pengorganisasian seperti itu akan membuahkan hasil masih harus dilihat, namun inisiasi tersebut perlu memperhatikan bagaimana pasar nikel ketika bahan bakar fosil kini tengah menurun di masa yang akan datang. Tetapi, di samping keuntungan ekonomi dan potensi keuntungan politik yang besar serta menjadi pionir transisi energi bersih, pertambangan nikel sendiri masih sangat kontroversial terkait aspek lingkungan.

Kelimpahan logam seperti nikel di Indonesia di satu sisi dapat meredakan kekhawatiran industri kendaraan listrik akan menghadapi hambatan sumber daya dalam membangun jutaan baterai, namun, hal ini dapat memperbesar risiko kerusakan lingkungan akibat penambangan nikel. Misalnya, tanah yang terbuka dari tambang dapat merembes ke saluran air, menggusur air dan membuat banjir lebih sering terjadi. Selain itu, daerah pertambangan pedesaan sering melihat debu batu bara menutupi rumah mereka dan memasuki paru-paru mereka. Bahkan kawasan tambang nikel sering kali merupakan bagian dari sistem kawasan lindung Inodnesia seperti di Lalobata dan Taman Nasional Aketajawe.[7]

Di tambah, Undang-Undang Cipta Kerja, telah menurunkan standar environmental, social and governance (ESG), terutama seputar partisipasi publik, misalnya, penilaian dampak lingkungan hanya dapat digugat oleh orang-orang yang “terkena dampak langsung”. Orang-orang seperti itu seringkali tidak memiliki sarana untuk mengajukan tuntutan hukum. Akibatnya, Indonesia kesulitan meyakinkan industri yang peduli terhadap lingkungan, investor yang bertanggung jawab secara sosial, dan masyarakat Indonesia bahwa mereka dapat menjunjung tinggi standar ketenagakerjaan, mengelola limbah secara bertanggung jawab, mengurangi jejak karbon, dan meminimalkan dampak keanekaragaman hayati.[8]

Dapat dikatakan, produksi nikel untuk energi ramah lingkungan seperti mobil elektrik tidak sepenuhnya ramah lingkungan dalam proses produksinya. Bahkan lebih dari satu dekade lalu, sudah banyak aktivis yang menentang pembukaan tambang nikel seperti organisasi Down to Earth, Rainforest Rescue, dan organisasi lingkungan lainnya. Di Sulawesi, hutan hujan dan hutan bakau dibuka untuk penambangan dan peleburan nikel. Limbah produksi nikel dibuang ke laut, yang merusak terumbu karang, biota laut, dan mata pencaharian nelayan setempat. Sebagai komponen vital dalam baterai lithium-ion, nikel juga berakhir di EV melalui China dan Korea Selatan.[9]

[1] “Top Five Nickel Producing Countries (Thousand Tonnes, 2021)”, Global Data, https://www.globaldata.com/data-insights/mining/the-top-five-nickel-producing-countries-thousand-tonnes-2021/#:~:text=In%202021%2C%20the%20top%20five,Caledonia%2C%20Russia%2C%20and%20Australia.

[2] Ibid.

[3] “Nickel alloys in energy and power”, Nickel Institute, https://nickelinstitute.org/en/about-nickel-and-its-applications/nickel-alloys-in-energy-and-power/#:~:text=These%20approaches%20to%20power%20generation,the%20gearing%20and%20generator%20components.

[4] Julia Horowitz, “Indonesia wants to make an OPEC for this coveted metal”, CNN, 5 Desember 2022, https://edition.cnn.com/2022/12/05/business/indonesia-nickel-opec/index.html

[5] Ibid.

[6] “Booklet Tambang Nikel 2020”, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, https://www.esdm.go.id/id/booklet/booklet-tambang-nikel-2020

[7] “Petition against World Bank support for new nickel mine”, Down to Earth, 4 Maret 2010, https://www.downtoearth-indonesia.org/story/petition-against-world-bank-support-new-nickel-mine

[8] Ian Morse “Indonesia has a long way to go to produce nickel sustainably”, China Dialogue, 28 Mei 2021, https://chinadialogue.net/en/pollution/indonesia-has-a-long-way-to-go-to-produce-nickel-sustainably/

[9] “Yes to the ‘green revolution’ – but without copper and nickel from the rainforest! “, Rainforest Rescue, https://www.rainforest-rescue.org/petitions/1249/yes-to-the-green-revolution-but-without-copper-and-nickel-from-the-rainforest