Penyelidikan PBB Terhadap Pelanggaran HAM di Ethiopia Usai: Pentingnya Peran Aktor Non-Negara & Norma Internasional

Investigasi resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Ethiopia diperkirakan akan selesai minggu depan, meskipun kekerasan masih terjadi di wilayah tersebut. Komisi Internasional Pakar HAM untuk Ethiopia, yang dibentuk pada tahun 2021 berdasarkan usulan Uni Eropa, akan secara resmi mengakhiri mandatnya setelah tanggal 13 Oktober 2023.

Keputusan ini diambil setelah komisi tersebut mengeluarkan laporan yang memperingatkan risiko pelanggaran HAM yang sedang berlangsung di Ethiopia dan menekankan kebutuhan mendesak untuk melanjutkan penyelidikan independen terhadap situasi hak asasi manusia di negara tersebut.[1] Konflik di wilayah Tigray di utara Ethiopia dimulai pada November 2020 ketika pasukan pemerintah Ethiopia bentrok dengan pemberontak yang mengakibatkan kekerasan yang meluas yang dilakukan oleh semua pihak.[2]

Meskipun perjanjian perdamaian yang dikenal sebagai Perjanjian Penghentian Permusuhan ditandatangani pada bulan November tahun 2021, kekejaman masih terus terjadi di beberapa wilayah Tigray, sebagaimana dicatat dalam laporan OHCHR.[3] Tahun lalu, mandat tersebut diperbarui dengan selisih yang tipis. Human Rights Watch mengkritik Uni Eropa dan negara-negara anggotanya karena mundur dari dukungan mereka dalam meneliti situasi hak asasi manusia di Ethiopia, dan menyebutnya sebagai “pukulan yang sangat buruk” bagi para korban kekejaman di negara tersebut.[4]

Ethiopia di sisi lain secara konsisten menentang penyelidikan yang diamanatkan PBB, dengan menyatakan bahwa kebijakan peradilan nasionalnya memberikan kesempatan yang memadai untuk melakukan penyelidikan, sebuah sikap yang ditentang oleh komisi PBB. Menanggapi pernyataan tersebut, juru bicara pemerintah Ethiopia Legesse Tulu menyatakan bahwa “Tidak perlu membicarakan jalan buntu.”[5]

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dan dinilai oleh tim gabungan dari PBB dan Ethiopia, ditemukan pelanggaran luas terhadap hukum HAM internasional, kemanusiaan, dan pengungsi oleh semua pihak yang berkonflik di Tigray seperti: serangan secara acak terhadap warga sipil dan objek sipil yang melanggar hukum humaniter internasional dan kemungkinan dapat dianggap sebagai kejahatan perang. Selain itu, banyak juga ditemukan kasus pembunuhan di luar hukum dan eksekusi di luar hukum oleh pihak berkonflik dan juga oleh  milisi lain seperti kelompok Fano dan Samri.[6]

Konflik The Tigrayan People’s Liberation Front (TPLF) sendiri menyoroti bagaimana kekuatan regional dan global dapat terlibat dalam konflik lokal. Dalam kasus ini, negara-negara tetangga seperti Eritrea dan Sudan telah terlibat dalam konflik tersebut, dan aktor internasional seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Uni Eropa telah menyatakan keprihatinannya dan mengambil tindakan diplomatik. Selain negara, konflik ini memperlihatkan bahwa aktor non-negara, seperti PBB juga berperan dalam resolusi konflik dan asistensi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

PBB sebagai aktor non-negara, hadir di tengah pihak berkonflik untuk berusaha membantu penyelesaian konflik yang berkepanjangan ini. Keberagaman antar aktor telah menciptakan peluang bagi terbentuknya sistem baru dan kemitraan baru, serta penguatan dan transformasi sistem lama.[7] Terlebih, secara teori, Aktor non-negara dapat meminta pertanggungjawaban negara atas tindakan yang dilakukan oleh negara. Contohnya, PBB dapat memantau dan melaporkan pelanggaran HAM dan pelanggaran lainnya, sehingga memberikan tekanan pada negara untuk mematuhi norma dan standar internasional.

Norma internasional menjadi salah satu aspek yang dapat menjadi pegangan aktor internasional dalam melakukan sebuah tindakan. Hal ini berkaitan dengan HAM dimana, meskipun hukum humaniter internasional tidak memberikan rincian yang sama mengenai investigasi, standar hak asasi manusia ini berlaku sepanjang waktu dan universal, termasuk dalam situasi konflik bersenjata. Untuk itu, norma-norma internasional juga memiliki peran penting dalam mengurangi risiko dengan memperjelas perilaku yang tidak dapat diterima dan membantu membentuk tindakan negara dan aktor non-negara.

[1] “EHRC-OHCHR Joint Investigation Report on Tigray Conflict”, Ethiopian Human Rights Commission, 12 Oktober 2022, https://ehrc.org/download/ehrc-ohchr-joint-investigation-report-on-tigray-conflict/

[2] Eve Brennan, “UN-mandated investigation into atrocities in Ethiopia to end”, CNN, 5 Oktober 2023, https://edition.cnn.com/2023/10/05/africa/un-ethiopia-investigation-lapses-intl/index.html

[3] “The acute risk of further atrocity crimes in Ethiopia: an analysis”, International Commission of Human Rights Experts on Ethiopia, Human Rights Council, 3 Oktober 2023, https://www.ohchr.org/sites/default/files/documents/hrbodies/hrcouncil/chreetiopia/A-HRC-54-CRP-2.pdf

[4] Op. Cit., Brennan

[5] Ibid.

[6] “Report of the Ethiopian Human Rights Commission (EHRC)/Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) Joint Investigation into Alleged Violations of International Human Rights”, Ethiopian Human Rights Commission, 2021

[7] Neeraj Trivedi, “Role of Organisations as Non-State Actors in International Relations”, CLAWS Journal, vol. 13, no. 1, 2020, pp. 116-125.