Ekonomi Myanmar Tidak Terkendali, 2 Tahun Setelah Kudeta Militer

Myanmar mengalami kejatuhan ekonomi sejak kudeta militer pada Februari 2021. Kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Senior Min Aung Hlaing, telah mengakibatkan konflik yang meluas, kerusuhan, dan kecaman internasional. Ketidakmampuan dan kesalahan manajemen junta militer telah menyebabkan banyak masalah ekonomi bagi negara, termasuk devaluasi mata uang dan populasi penduduk usia kerja. Setelah satu dekade pertumbuhan yang stabil, ekonomi Myanmar mengalami kontraksi sebesar 18% pada tahun 2021, dengan sedikit perbaikan yang diproyeksikan pada tahun 2023. Selain itu, sanksi internasional dan pemasukkan Myanmar ke dalam daftar hitam oleh the international Financial Action Task Force telah menghalangi investasi asing .

 

Salah satu masalah utama yang dihadapi perekonomian Myanmar adalah devaluasi mata uangnya, kyat. Kyat telah kehilangan sekitar setengah nilainya. Devaluasi ini meningkatkan inflasi hingga 16% pada tahun 2022,menjadikan harga lebih mahal bagi warga negara untuk membeli barang dan jasa. Akibatnya, daya beli sangat berkurang, dan banyak warga berjuang bahkan untuk membeli kebutuhan pokok. The World Food Proggramme memperkirakan bahwa 14,4 juta orang, lebih dari 25% populasi, menghadapi kerawanan pangan. Devaluasi juga merugikan bisnis, membuat barang impor dan bahan baku lebih mahal dan menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi. Selain itu, depresiasi telah mempersulit Myanmar untuk menarik investasi asing, karena ketidakstabilan mata uang menghalangi investor. Situasi ekonomi secara keseluruhan di Myanmar menjadi semakin mengerikan karena devaluasi kyat, dan kemungkinan akan membutuhkan waktu dan upaya yang signifikan untuk memulihkan stabilitas ekonomi.

Masalah besar lainnya adalah populasi penduduk usia kerja, dengan ribuan orang diperkirakan meninggalkan negara itu setiap bulan. Sejak kudeta, banyak profesional muda dan pekerja terampil yang tersisa telah dipenjara dan dibunuh. Hal ini mengakibatkan kekurangan tenaga kerja terampil di Myanmar, yang semakin menghambat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, kerusuhan sipil yang sedang berlangsung telah mempersulit bisnis untuk beroperasi, menyebabkan hilangnya pekerjaan dan menurunnya aktivitas ekonomi.

Sejak ekonomi Myanmar didominasi oleh militer dan kroni-kroninya, sanksi internasional telah mempersulitnya untuk berdagang dengan negara lain dan semakin melemahkan ekonominya. Sanksi internasional telah ditargetkan pada junta militer dan bisnisnya serta individu dan perusahaan yang mendukung rezim tersebut. Selain sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh masyarakat internasional, krisis politik dan hak asasi manusia yang sedang berlangsung di Myanmar juga menyebabkan banyak bisnis internasional hengkang. Banyak perusahaan multinasional terkemuka telah meninggalkan negara tersebut, termasuk Telenor, Kirin, Woodside Petroleum, Chevron, TotalEnergies, Voltalia, dan British American Tobacco, karena kekhawatiran atas peran militer dalam pemerintahan, pelanggaran hak asasi manusia, dan situasi politik yang tidak stabil.

Kepergian bisnis internasional ini telah menyebabkan hilangnya pekerjaan dan pendapatan yang signifikan bagi masyarakat Myanmar dan penurunan aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Ini juga semakin membatasi akses negara ke investasi dan teknologi asing, menghambat kemampuannya untuk mengembangkan dan memodernisasi ekonominya. Degradasi infrastruktur yang kritis, seperti energi dan komunikasi, telah membuat bisnis tidak dapat beroperasi dengan andal. Selain itu, sanksi dan penghentian bisnis juga telah menurunkan cadangan devisa negara dan meningkatkan inflasi, sehingga semakin mempersulit negara untuk mengimpor barang dan jasa serta melunasi utangnya.

 

Perekonomian Myanmar terpuruk sejak kudeta militer yang gagal pada Februari 2021. Ketidakmampuan dan kesalahan manajemen junta militer Myanmar menyebabkan devaluasi mata uang, menguras otak penduduk usia kerja, dan sanksi ekonomi. Selama junta militer Myanmar mengelola ekonomi, kecil kemungkinannya untuk pulih. Oleh karena itu, sangat penting bagi masyarakat internasional untuk terus menekan junta militer Myanmar untuk memulihkan demokrasi dan mengizinkan pemerintah sipil yang memenuhi syarat untuk mengatasi masalah ekonomi negara.