Koalisi Masyarakat Sipil Kecewa dengan Komitmen Pemerintah Terhadap Isu HAM

Koalisi yang terdiri dari kelompok penggiat isu hak asasi manusia lokal mengkritik pemerintah Indonesia karena tidak mengikuti rekomendasi mendesak dalam upaya peningkatan hak asasi manusia Indonesia pada siklus keempat Universal Periodic Review (UPR) November 2022 lalu.

UPR adalah mekanisme peer review yang berlaku untuk 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan dikelola di bawah Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Forum ini mendukung dialog dan kerja sama untuk meningkatkan kapasitas negara anggota PBB dalam melaksanakan komitmen kemajuan dan perlindungan HAM, sebagaimana tertulis dalam Resolusi Majelis Umum PBB 60/251 Tahun 2006.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pelaporan UPR, yang terdiri dari Amnesty International Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), SAFEnet, Caucus ASEAN SOGIE dan kelompok hak asasi LGBT Arus Pelangi, menyatakan kekecewaannya atas selektivitas pemerintah dalam mengikuti rekomendasi yang diterima. 

Menurut tambahan laporan dari Working Group on the UPR – Indonesia yang diterbitkan pada 17 Maret 2023, dari sekitar 269 rekomendasi, pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk sepenuhnya mendukung/menerima sekitar 205 rekomendasi yang ada, sebagian mendukung lima rekomendasi, dan hanya mencatat 55 rekomendasi yang diterima dari negara anggota lain.

 

 

Beberapa isu krusial yang tidak didukung pemerintah Indonesia

Kelompok tersebut mengkritik bahwa pemerintah tidak mendukung rekomendasi apa pun yang berkaitan dengan hukuman mati, meskipun Konstitusi 1945 mengakui hak hidup, dan bahwa pengadilan Indonesia telah memberikan 66 hukuman mati antara Januari 2020 dan September 2022. 

Kelompok tersebut juga menyoroti bahwa banyak hukuman mati yang menyebabkan apa yang dikenal sebagai “fenomena tahanan koridor mati”, yang dapat menyebabkan kesulitan psikologis dan fisik pada narapidana selain meningkatkan kemungkinan adanya persidangan yang tidak adil. Pemerintah juga tampak enggan membiarkan Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia menyelidiki kekerasan di Papua, dan meskipun awalnya berjanji untuk membiarkan wartawan asing masuk ke Papua pada 2015, akhirnya memutuskan melarang akses pada 2019. 

Kelompok tersebut menyatakan bahwa situasi hak asasi manusia di Papua telah stagnan, karena insiden kekerasan terhadap warga sipil terus terjadi. Kelompok tersebut menambahkan bahwa 40 insiden semacam itu melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Nasional sebagai pelaku utama terjadi pada 2020, diikuti oleh 39 insiden pada 2021 dan 48 pada 2022. “Dalam siklus keempat [UPR], pemerintah Indonesia tidak mendukung rekomendasi apa pun untuk penyelidikan, akuntabilitas, dan pencegahan impunitas di Papua,” demikian disampaikan dalam pernyataannya.

Di sisi lain, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyampaikan adanya kesulitan yang dihadapi pemerintah dalam memenuhi komitmen pembangunan HAM. Laoly menyatakan terdapat berbagai dinamika penegakan isu hukum dan HAM, terutama berkaitan dengan kondisi geopolitik global dan regional yang turut mempengaruhi pembangunan nasional di bidang HAM.

Terkait isu pidana mati, Yasonna menyatakan bahwa pidana mati masih menjadi hukum positif karena KUHP masih mengatur pidana mati sebagai hukuman utama. Namun, pemerintah berusaha menemukan solusi tengah dengan merevisi KUHP dan membuat pidana mati sebagai hukuman opsi. Lalu dalam isu Papua, terutama mengingat negara Eropa menyoroti kasus mutilasi di Papua, Yasonna menyatakan bahwa pemerintah menangani pelanggaran HAM di Papua secara tidak hanya yudisial tetapi juga non-yudisial.

Guna mendukung perlindungan terhadap hak-hak ini, baik pemerintah dan masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk mengimplementasikan kebijakan dan rencana aksi yang mengedepankan dialog dan pendekatan humanis agar tidak ada perampasan hak maupun pelanggaran di masa yang akan datang.