Konferensi COP27: Antara Perubahan Iklim dan Perang
Suhu bumi telah menghangat lebih dari 1,1 derajat Celcius sejak akhir abad ke-19, dengan sekitar setengah dari peningkatan itu terjadi dalam 30 tahun terakhir, laporan itu menunjukkan. Menurut Sekretaris Jenderal World Meteorological Organization (WMO) Petteri Taalas, target pemanasan 1,5 derajat dari kesepakatan iklim Paris tidak mungkin tercapai mengingat tingkat karbon dioksida yang berada di atmosfer saat ini.[1]
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres mencatat bahwa negara-negara maju bertanggung jawab atas sebagian besar emisi, sementara negara-negara berkembang kemungkinan akan menanggung beban terberat dari dampak perubahan iklim. Dia menambahkan bahwa kebijakan iklim saat ini “akan benar-benar bencana.”[2]
Perundingan COP27 yang diselenggarakan PBB diadakan di Sharm El Sheikh sejak 6 hingga 18 November 2022, di Semenanjung Sinai Mesir. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa dunia akan “terkutuk” jika negara maju dan negara berkembang gagal mencapai kesepakatan untuk membatasi dampak perubahan iklim.[3]
Gelombang peristiwa cuaca ekstrem yang diperparah oleh perubahan iklim telah mengacaukan kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia, apalagi di tahun 2022 ini. Dari mulai gelombang panas, banjir besar di Pakistan, curah hujan di bawah rata-rata di wilayah Afrika Timur yang menyebabkan kekeringan, terganggunya ekosistem sungai karena volume air yang berubah secara drastis.
Setelah kurang lebih tiga belas tahun semenjak negara-negara maju berkomitmen untuk menggalang dana sebesar $ 100 miliar per tahun pada tahun 2020, nyatanya angka tersebut belum terpenuhi. Target pendanaan iklim global, yang ditetapkan pada COP15 oleh negara-negara maju, belum sepenuhnya dipenuhi. LSM internasional Inggris Oxfam memperkirakan baru sebesar $21-$24,5 miliar yang terkumpul untuk pembiayaan iklim yang diberikan pada tahun 2020.[4]
Bank Dunia mengatakan bahwa perubahan iklim dapat secara tajam mengurangi kualitas kehidupan masyarakat global hingga 800 juta orang di beberapa wilayah dengan populasi termiskin dan paling rentan terhadap perubahan di dunia.[5] Asia Selatan berada di garis depan dalam hal perubahan iklim dan COP27 berlangsung pada saat yang kritis karena kawasan ini menghadapi peristiwa cuaca yang semakin sering dan intens.
Sebuah studi tahun 2021 oleh kelompok lingkungan German Watch yang berfokus pada dua dekade pertama abad ini mengungkapkan bahwa 3 dari 10 negara dalam indeks risiko iklim jangka panjang berasal dari Asia Selatan: yaitu Bangladesh, Pakistan, dan Nepal. “Banjir sangat merusak di Pakistan, dan saya pikir dibutuhkan sekitar $16 miliar untuk rekonstruksi,” menurut Thomas Michael Kerr, spesialis iklim utama Asia Selatan di Grup Bank Dunia.[6]
COP27 sendiri berfokus pada peningkatan solusi adaptasi sambil memobilisasi dan memperkuat akses ke pembiayaan untuk adaptasi. “Diskusi di COP27 harus maju menuju angka baru untuk pendanaan iklim mulai 2025 dan seterusnya yang secara akurat menangkap kebutuhan ini,” lanjutnya.
Keamanan Militer atau Keamanan Lingkungan?
Di sisi lain, invasi Rusia ke Ukraina sendiri memperburuk usaha negara-negara untuk memperlambat perubahan iklim. Presiden Jerman, Frank-Walter Steinmeier mengatakan “konfrontasi militer” di dunia mengurangi kemungkinan tercapainya kesepakatan iklim. “Sulit untuk membayangkan bahwa, di masa konflik dan bahkan konfrontasi militer, negara-negara seperti Rusia atau China akan memainkan peran konstruktif di dan setelah Sharm el Sheikh (Konferensi COP27),” katanya berbicara pada diskusi tentang kebijakan iklim di Korea Selatan.[7]
Di sisi lain, Steinmeier mengatakan akan sulit menemukan uang untuk mengubah ekonomi Jerman menjadi ekonomi yang berkelanjutan karena Berlin mendedikasikan dana untuk meningkatkan anggaran pertahanannya dan mendukung upaya perang Kyiv.[8] Guterres mengatakan kepada surat kabar Guardian Inggris bahwa negara-negara kaya harus mencapai “pakta bersejarah” dengan negara-negara berkembang di KTT COP27 untuk meminimalkan dampak perubahan iklim.
Bagi negara-negara Eropa, keamanan secara tradisional, yang mengedepankan aspek militer tengah menjadi faktor utama pendorong terciptanya keamanan, bahkan bagi Rusia dan Ukraina, aspek lingkungan bukan menjadi hal penting untuk saat ini. Invasi dengan penggunaan alutsista juga merupakan penyumbang dari cepatnya perubahan iklim.
Banyak perubahan lingkungan dan sosial yang terjadi akibat konflik, salah satunya menjadi sumber emisi gas rumah kaca. Pada saat yang sama, runtuhnya tata kelola lingkungan yang terkait dengan konflik dapat menciptakan atau mempertahankan kondisi yang memungkinkan praktik polusi berkembang, dan menghambat upaya untuk mengatasinya.[9]
Pada fase awal pertempuran, emisi utama akan muncul dari infrastruktur yang rusak, hilangnya vegetasi, dan pengiriman bantuan kemanusiaan. Ancaman dan konflik yang meningkat dapat mendorong deforestasi karena medan perang dan peluncuran serta target rudal sering mengarah pada wilayah-wilayah penting dan perbatasan untuk melemahkan lawan. Pengeboman dan metode perang modern lainnya secara langsung merugikan satwa liar dan keanekaragaman hayati. Kerusakan tambahan dari konflik dapat membunuh hingga 90% hewan besar di suatu daerah.[10]
Bahkan masalah lingkungan dapat meluas ke periode pasca konflik. Produksi energi, gudang penyimpanan, hingga infrastruktur transportasi sering menjadi sasaran pertempuran.[11] Kebakaran dan tumpahan minyak sering kali menghasilkan emisi, dan terkadang infrastruktur minyak secara aktif dipersenjatai. Emisi tidak langsung dari konflik aktif adalah yang paling sulit untuk diukur, tetapi mungkin yang paling signifikan mengingat mereka meluas ke banyak sektor, dan ke masa depan.[12].
Di Ukraina, pembangkit listrik Luhansk harus meningkatkan produksi dan beralih ke batubara kualitas rendah menyusul gangguan pasokan bahan bakar. Krisis ini telah mendorong pemerintah untuk kembali menggunakan bahan bakar fosil yang dinilai lebih efektif daripada solusi yang jelas dan perlu untuk mempercepat peralihan ke energi terbarukan pada situasi genting.[13]
Terlepas dari invasi militer, aktivitas militer pada periode damai sendiri mengkonsumsi banyak bahan bakar dan juga menghasilkan emisi yang sangat besar. Militer dunia menyumbang sekitar 6% dari semua emisi gas rumah kaca, dan banyak pemerintah bahkan tidak melaporkan data tentang emisi dari kegiatan militer.[14]
Sektor Militer mengkonsumsi sejumlah besar bahan bakar fosil, yang berkontribusi langsung terhadap pemanasan global. Bahkan 566.000 unit gedung Departemen Pertahanan AS, misalnya, menyumbang 40% dari penggunaan bahan bakar fosilnya.[15] Ini termasuk fasilitas pelatihan, asrama, pabrik, dan bangunan lain di hampir 800 basis departemen di seluruh dunia. Jika militer AS di hitung sebagai sebuah negara, maka ia akan berada di peringkat ke 47 penghasil emisi tertinggi di dunia.[16]
Meningkatnya ancaman dari berbagai negara akhir-akhir ini, seperti yang dilakukan oleh Rusia, China, hingga Korea Utara otomatis telah meningkatkan aktivitas militer negara-negara lainnya karena munculnya security dilemma.[17] Akibatnya, COP27 yang mungkin secara teori telah merumuskan rancangan untuk melindungi lingkungan tidak akan benar-benar efektif dalam praktiknya.
[1] “UN weather report reveals ‘chronicle of climate chaos’”, DW, 6 November 2022, https://www.dw.com/en/un-weather-report-reveals-chronicle-of-climate-chaos/a-63663708
[2] Saim Dušan Inayatullah, German president says COP27 conditions ‘not encouraging’”, DW, 11 5 November 2022, https://www.dw.com/en/german-president-says-cop27-conditions-not-encouraging/a-63661025
[3] Ibid.
[4] Zobaer Ahmed, “South Asia desperate for positives from COP27”, 4 November 2022, https://www.dw.com/en/south-asia-desperate-for-positives-from-cop27/a-63650600
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Op. Cit., Inayatullah
[8] Ibid.
[9] “We need to do more to understand the climate costs of war if we’re to identify pathways towards emissions reductions and increased resilience during recovery”, Conflict and Environment Observatory, 14 Juni 2021, https://ceobs.org/how-does-war-contribute-to-climate-change/
[10] Joe McCarthy, “How War Impacts Climate Change and the Environment”, Global Citizen, 7 April 2022, https://www.globalcitizen.org/en/content/how-war-impacts-the-environment-and-climate-change/
[11] Rifani Agnes Eka Wahyuni, “Perang Rusia-Ukraina Memicu Revolusi Energi”, DIP Institute, 8 Oktober 2022, https://dip.or.id/2022/10/08/perang-rusia-ukraina-memicu-revolusi-energi/
[12] Op. Cit., Conflict and Environment Observatory
[13] “Pricey food, precious forests – the invasion of Ukraine, global food security and deforestation”, Global Witness, 6 April 2022, https://www.globalwitness.org/en/blog/pricey-food-precious-forests-the-invasion-of-ukraine-global-food-security-and-deforestation/
[14] Tom Ambrose, “World’s militaries avoiding scrutiny over emissions, scientists say “, The Guardian, 11 November 2022, https://www.theguardian.com/environment/2021/nov/11/worlds-militaries-avoiding-scrutiny-over-emissions
[15] Neta C. Crawford, “The Defense Department is worried about climate change – and also a huge carbon emitter”, The Conversation, 12 Juni 2019, https://theconversation.com/the-defense-department-is-worried-about-climate-change-and-also-a-huge-carbon-emitter-118017
[16] Op. Cit., Joe McCarthy
[17] Anita Susanto, “Intensifnya Penembakkan Rudal Balistik Oleh Korea Utara, Ada Apa?”, DIP Institute, 4 Oktober 2022, https://dip.or.id/2022/10/04/intensifnya-penembakkan-rudal-balistik-oleh-korea-utara-ada-apa/