26 April: Bencana Chernobyl dan Masa Depan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir

Percobaan senjata nuklir buatan manusia telah menambah radioaktif yang telah ada secara alami dalam skala dunia. Walaupun percobaan senjata nuklir dikurangi secara besar-besaran sejak tahun 1962, ketakutan akan perang nuklir tetap ada. Pembangunan tenaga nuklir untuk maksud damai berjalan terus dan harus dipercepat, karena persediaan bahan bakar fosil (seperti bensin, minyak tanah dan lain-lain) sudah menipis.

Beberapa sumber energi bebas karbon mulai dikembangkan salah satunya adalah energi Nuklir. Hal ini berarti dengan bertambahnya tenaga nuklir, kekurangan energi listrik dapat diatasi. Akan tetapi volume limbah radioaktif harus diantisipasi, dipantau dan dikendalikan, seperti yang harus dilakukan terhadap bahan berbahaya dan beracun (B3).[1]

Jika dioperasikan secara layak, reaktor nuklir tidak memberikan resiko kesehatan yang berarti. Namun selain menjadi penyumbang kebutuhan listrik, nuklir juga masih memiliki dampak negatif khususnya terkait lingkungan.   Salah satunya pada bencana Chernobyl pada tahun 1986, yakni melelehnya inti sebuah reaktor nuklir yang menyebabkan lolosnya radioaktif.[2] Kecelakaan PLTN Chernobyl di kota Pripyat merupakan suatu kegagalan pembangkit listrik tenaga nuklir di dunia.  Ledakannya berasal  dari  pembangkit listrik  tenaga  nuklir  (PLTN)  milik  negara  Chernobyl.

Dampak  dari  ledakan  ini  melepaskan  debu radioaktif secara luas ke atmosfer hingga mendapatkan perhatian internasional tentang bahayanya mengakibatkan atau ditimbulkan dengan adanya pelepasan radioaktif di udara. Kebocoran panas dan juga limbah radioaktif dikubur di sekitar 800 lokasi sementara. Tragedi Chernobyl adalah salah satu  bencana  lingkungan  terburuk  yang  pernah  tercatat,  bukan  hanya  melihat  dari  segi  biaya, namun juga dari berbagai dampaknya. Zona Pengecualian Chernobyl mencakup area seluas sekitar 2.800 kilometer persegi  dan  mungkin  merupakan  salah  satu  area  yang  paling  terkontaminasi radioaktif di dunia. Segera setelah bencana Chernobyl, sekitar 400 hektar hutan pinus hancur, dan berbagai keanekaragaman hayati dan sumber air di daerah tersebut sangat tercemar.

Ambruknya demokrasi, dan musibah radiasi kebocoran reaktor Chernobyl (April 1986) yang menyebabkan timbulnya kanker thyroid pada anak-anak, telah membangkitkan protes di kalangan masyarakat luas dengan pusat kritik pada gagalnya reaktor itu menerapkan standar barat dalam bidang keamanannya. Kecelakaan Chernobyl merupakan satu-satunya reaktor yang inti grafitnya meleleh total dalam sebuah stasiun tenaga nuklir. Kecelakaan tersebut menyebabkan 31 orang meninggal dan 300 orang dirawat di rumah sakit, melepaskan unsur radioaktif ke seluruh kawasan bekas Uni Soviet, Eropa Timur, Skandinavia, dan Eropa Barat.

Reaktor nuklir mampu memberikan energi nuklir lebih dari cukup dengan keuntungan-keuntungan yang nyata bagi lingkungan. Tenaga nuklir menimbulkan lebih sedikit pencemaran (tidak ikut menambah pemanasan global dan hujan asam) dibandingkan dengan pembangkit tenaga yang konvensional. Oleh karena itu instalasi tenaga nuklir layak dipilih dan dapat dibuktikan aman dan cukup ekonomis. Namun hingga kini, menurut kelompok anti nuklir, semua kebaikan itu masih terkait dengan “kalau-kalau” yang besar, seperti Chernobyl telah meninggalkan sejumlah persoalan yang tidak terpecahkan dalam benak beberapa pakar dan warga masyarakat umum : tingginya biaya dan masalah layak tidaknya nuklir dapat dipercaya (keduanya diperparah oleh kekhawatiran tentang keamanannya) telah membuat reaktor-reaktor nuklir suatu bencana keuangan bagi banyak usaha jasa pekerjaan umum.[3] Hal ini tidak sepenuhnya tepat, karena energi nuklir memerlukan biaya pengoperasian yang relatif rendah dan stabil, sehingga bukan merupakan bencana keuangan.[4]

Berdasarkan  peristiwa  tersebut  isu lingkungan  hidup  akibat  nuklir  menjadi  perhatian internasional. dan juga tanggung jawab akan pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian dari faktor  internal  maupun  faktor  eksternal  seluruh  negara di  dunia.  Faktor internal  tentunya  berada dibawah  kebijakan  pemerintah,  sementara  faktor  eksternal  dikendalikan  oleh  seluruh  lapisan masyarakat. Kedua faktor ini perlu diperhatikan oleh pemerintah yang ingin menggunakan nuklir sebagai  sumber  daya  energi.[5]  Regulasi  kebijakan  terhadap  lingkungan  hidup penting untuk menyeimbangkan antara kegiatan produksi dan juga keselamatan lingkungan untuk mendorong  keseimbangan  ekosistem  yang  lebih  sehat.  Sehingga  perlindungan  lingkungan  sudah sewajarnya menjadi tanggung jawab berbagai elemen.Globalisasi  juga memunculkan  pola  hubungan  baru  dimana  negara  tidak  lagi  menjadi otonom  dan  berkuasa  penuh  di  wilayah  kekuasaanya  itu  sendiri   melainkan  terbentuk  hubungan yang saling bergantung antar pelaku transnasional yang terintegrasi secara global. Keadaan seperti ini yang memunculkan global governance.

Global governance terbentuk secara formal dan memiliki perangkat  hukum  untuk  mengatur  berbagai  aktor  internasional  salah  satunya  seperti  United Nations Environment Programme (UNEP), yang merupakan otoritas global yang memiliki program khusus terkait iklim, alam, polusi, dan juga pembangunan berkelanjutan terkait lingkungan. Atau International  Atomic  Energy  Agency  (IAEA)  yang  merupakan  badan  kerjasama  dunia  di  bidang nuklir,   dibentuk   dalam   keluarga   PBB   pada   1957,   IAEA   sendiri   memiliki   program   terkait pemanfaatan teknologi nuklir yang aman, terlindungi dan damai.Permasalahan   keterbatasan   sumber   daya   dalam   pemanfaatan   listrik   rumah   tangga memberikan kesadaran dari seluruh negara. Demikian beberapa negara telah memanfaatkan tenaga nuklir yang dianggap aman dan berkelanjutan. Namun memerlukan pemahaman yang sama bahwa seluruh negara memegang beban yang sama terkait penyelesaian masalah limbah radioaktif.[6]

Dampak kecelakaan Chernobyl berakibat kurang percayanya masyarakat pada sebagian dari semua reaktor nuklir yang beroperasi di Rusia dan Eropa Timur, dianggap tidak aman oleh banyak orang. Hal ini diperparah keadaan dengan bertambahnya usia reaktor, ditambah dengan politik yang membuat banyak pakar tenaga nuklir hijrah ke negara-negara lain dan dipotongnya anggaran bagi mereka yang tinggal di negaranya sendiri. Orang mulai menyadari bahwa biaya riil pembongkaran reaktor nuklir yang telah tua dan yang tidak lagi menguntungkan, ternyata sama mahalnya dengan biaya pembangunannya.[7] Para ahli nuklir Amerika Serikat bersama NRC berulang kali mendesak, agar diambil langkah-langkah untuk menutup reaktor-reaktor yang paling buruk di Rusia dan Eropa Timur, dan agar minta bantuan bagi sebagian yang lain. Jika terjadi bencana macam Chernobyl lagi, hal itu bisa menambah suramnya harapan bagi generasi masa depan instalasi-instalasi nuklir USA.

Dalam konsep Globalisasi, entitas negara dan masyarakat mempunyai peluang dan potensiuntuk  menstimulasi  kebermanfaatan  yang  cukup  signifikan  dari  perkembangan  transformasi  ke arah  globalisasi.  Namun,  dalam  empirisnya  hal  tersebut  tidak  selalu  berjalan  semestinya  masih adanya masalah atau implikasi dalam memanifestasikan kesempatan ini. Terlalu banyak persoalan kepentingan yang tumpang tindih dan perhatian yang berlebihan dalamkeuntungan ekonomisasi global  sehingga  memarjinalkan  persoalan  yang  krusial  pada  implikasi  sosial  dan  lingkungan. Akibatnya,  jaminan  akan  peluang  keberlanjutan  proses  perkembangan  globalisasi  yang ditujukan sebagai peningkatan pembangunan manusia yang berkesinambungan mungkin tidak terealisasikan dan justru serta merta membawa dampak serius terhadap kehidupan manusia terutama kerusakan lingkungan yang besar seperti fenomena Kerusakan Lingkungan terbesar di dunia akibat kemajuan era  globalisasi  dalam  teknologi  yang  tidak  diimbangi  dengan  resiko  dampak  dan  sumber  daya manusianya,  Chernobyl  yang  telah  terjadi  di  Ukraina  dan  berbatasan  dengan  Belarus.

Dimana dalam  kasus  ini  dilatarbelakangi  oleh  eksperimen  manusia  dalam  membuat  Pembangkit  Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) daya darurat, namun dalam implementasinya hal ini tidak diiringi dengan epatuhan prosedur standar keamanan operasional reaktor yang aman sehingga mengimplikasikan sebuah  bencana  hebat  yang  tidak  terkendali.  Hal  ini  dilihat  oleh  dunia  sebagai  konflik  kecacatan desain reaktor dan manajemen pembangkit listrik yang buruk.Fenomena kemajuan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir salah satunya PLTN di Chernobyl menunjukkan  bahwa  dalam  keunggulan  dan  tingkat  efisiensi  yangbaik  tidak  sebanding  dengan kelemahan  dan  dampaknya  terhadap  lingkungan.  Reaktor  pada  pembangkit  listrik  tersebut  yang secara desain sudah tidak sempurna ini tidak memiliki keamanan dan pelindung yang layak pula sehingga  terjadi  kecelakaan  potensi  radioisotop  atau  implikasi  dari  adanya  radiasi  zat-zat  kimia yang berbahaya ke lingkungan cukup kuat dan besar dibanding reaktor-reaktor lainnya ditambah dengan  presensi  kompleksitas  manajemen  PLTN  Chernobyl  yang  tidak  berpengalaman  dalam pengoperasian reaktor besar dalam teknologi nuklir.[8] Singkatnya, hal inilah yang memicu kuat dari kombinasi  kesenjangan  desain  dan  manajemen  operasional  yang  tidak  sempurna  berpuncak mengakibatkan Kecelakaan PLTN Chernobyl. Adapun,  dampak  yang  sangat  terasa  oleh  kehidupan  manusiadari  adanya kecelakaanpembangkit   listrik   Chernobyl   dalam   segala   aspek   kehidupan   terutama   terhadap   kerusakan lingkungan.

Ada  banyak  sekali  standar  dan  peraturan  yang  dibuat  oleh  Internasional  Atomic  Energy Agency (IAEA), standar dan peraturan tersebut dilakukan guna memastikan pengoperasian, serta hal-hal yang  penting  diketahui dan  dipahami  secara  mendalam.  Safety  requirements  yang  dibuat oleh Internasional Atomic Energy Agency (IAEA), dikeluarkan untuk melindungi masyarakat dan juga lingkungan. IAEA memiliki prinsip melindungi generasi sekarang dan yang akan datang, tak hanya  itu  IAEA  juga  memberikan  kebijakan terkait  kesehatan  pekerja  di dalam  PLTN  itu sendiri, dimana para pekerja juga di larang mengkonsumsiminuman beralkohol. IAEA juga menekankan manajemen  untuk  tidak  mengutamakan  target  produksi,  harus  mengutamakan  keselamatan.  ada pula batasan kondisi PembangkitListrik Tenaga Nuklir (PLTN) dimana ada lima poin yaitu (1) bataskeamanan,  (2)  pengaturan  pembatas  untuk  sistem  keselamatan,  (3)  batas  dan  kondisi  operasi normal,  (4)  persyaratan  pengawasan dan  pengujian, (5)  pernyataan  tindakan dari  operasi normal.[9]

Kapasitas yang terpasang untuk pembangkit listrik tenaga nuklir di seluruh dunia akan bertambah, seiring dengan majunya teknologi nuklir dan jaminan keamanan dari IAEA. Tenaga nuklir menimbulkan lebih sedikit pencemaran (tidak ikut menambah pemanasan global dan hujan asam) dan memberikan energi nuklir lebih dari cukup dengan keuntungan-keuntungan yang nyata bagi lingkungan, dibandingkan dengan pembangkit tenaga konvensional. Pemerintah Indonesia yang merencanakan pembangunan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) pada tahun 2010 harus mengkaji dan mengelola secara detil, agar aman, selamat dan mampu kompetitif dengan energi konvensional.[10] Kebanyakan kecelakaan nuklir terjadi, karena kesalahan manusia, disamping soal-soal ekonomi, dan skandal-skandal yang berulang kali telah menodai industri nuklir. Prosedur-prosedur yang sering dipakai dalam mengendalikan suatu bahaya nuklir adalah penggantian atau daur ulang (recycle) radionuklida, pengendalian rekayasa, perlindungan perorangan, dan pengendalian administratif.

PLTN memang sebagai solusi dari penggunaan minyak bumi yang terus menipis. Namun perlu adanya riset dan kebijakan mengenai penggunaan energi nuklir sebagai sumber utama dalam pembangunan pembangkit listrik untuk rumah tangga. Kasus  Chernobyl  merupakan  contoh  yang  mencerminkan  kurang  mendalamnya  observasi  serta riset  yang  mengakibatkan  resiko  yang  sangat  fatal.  Kecelakaan  PLTN  di  Chernobyl  memberikan bukti  bahwa  nuklir  memiliki  dampak  besar  bagi  kehidupan  manusia,  dan  mempengaruhi  semua aspek kehidupan, terutama kerusakan lingkungan. Kontaminasi radionuklida atau radioisotop yang menjangkit   daerah   pemukiman   masyarakat   dan   lahan   pertanian   melalui radiasi   nyayang mengakibatkan radiasi udara mengakibatkan pencemaran tanaman pertanian. Oleh  karena  itu,  diperlukan  adanya  sistem mengenai safety  conduction untuk  melanjutkan proses  perkembangan  nuklir  sebagai  pengganti  batu  bara  dan  minyak  bumi.  Jika  pembangunan digarap  melalui  tahap  pengembangan  dengan  serius,  maka  tenaga  listrik  yang  bersumber  dari nuklir dapat digunakan untuk mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang baru dan juga ramah untuk lingkungan. Pada aspek diversifikasi energi, opsi prioritas yang menjadi pertimbangan berbagai negara untuk menghasilkan energi dari pembangkit listrik dalam skala besar dan juga tidak akan mengeruk banyak sumber daya adalah nuklir.

Pemerintah Indonesia yang berencana membangun tenaga nuklir perlu memulai program nuklir agresif yang bertujuan merancang suatu jenis reaktor standar yang hampir bebas dari melelehnya inti reaktor. Desain industri nuklir yang baru perlu dipertimbangkan ciri-ciri keamanan yang “pasif”, tidak melibatkan sistem mekanis atau tindakan manusia yang rawan kegagalan. Kecelakaan nuklir terhitung sebagai kecelakaan berdampak besar, namun berpeluang kecil untuk terjadinya kecelakaan. Kebanyakan fokus terkait pada peraturan dan politik yang terarah pada memperdebatkan peluang tersebut.

Namun perhatian lebih besar perlu diberikan pada dampak besar yang ditimbulkan dari kecelakaan nuklir tersebut. Begitu pula rencana pengungsian (evakuasi) akibat kecelakaan, perlu direncanakan, dan punya makna penting dalam banyak sengketa pendapat tentang nuklir. Asuransi kesehatan merupakan masalah yang mengacu pada dampak besar itu. Batas tingkat kerawanan instalasi nuklir terhadap kecelakaan perlu dituangkan dalam Undang-Undang. Tanpa Undang-Undang itu, mungkin instalasi nuklir tidak dapat diasuransikan, dan berakibat instalasi itu tidak dapat dibangun. Ini berarti bahwa dampak besar kecelakaan nuklir yang mungkin terjadi mempunyai batas ambang dari segi pandang finansial perusahaan, tetapi tidak dari segi pandang kesehatan masyarakat.

[1] ODUM, E. P., Fundamental of Ecology, third edition,Saunders College Publishing, Rinehart and Winston Inc., Philadelphia, 1971.

[2] ibid

[3] GREENPEACE INTERNATIONAL, WISE – Paris and Worldwatch Institute, op.cit.; The World Nuclear Industry Status Report ; A Grid for East Asia; Energy Economist, London, 1992.

[4] INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY, IAEA Bulletin, Vol. 44 No. 2, Vienna, Austria, 2002.

[5] Suwarsono. (1993). Analisis Lingkungan Bisnis Negara Berkembang. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

[6] Ibid.

[7] McGEE, S., Ontario Hydro Will Reduce its Budget for Capital Spending to Cut Power Costs, Wall Street Journal, 1992.

[8] International Atomic Energy Agency, Environmental Consequences of the Chernobbyl Accident and their Remeditation: Twenty Years Experiences, http://www-pub.iaea.org/MCTD/Publications/PDF/Pub1239 web.pdf

[9] International Atomic Energy Agency. (2016). Safety of Nuclear Power Plants: Commissioning and Operation, Specific Safety Requirements No. SSR-2/2 (Rev.1). IAEA Safety Standards, 2(No. SSR-2/2   (Rev.   1)),   71.   http://www-pub.iaea.org/MTCD/publications/PDF/Pub1716web-18398071.pdf

[10] Septianingsih, I., Kurniawan, I. D., & Pramata, M. B. (2020). Peluang dan Tantangan: Pemanfaatan Potensi Tenaga Nuklir Berbasis Smart Electricity Guna Memaksimalkan Penggunaan Energi Baru Terbarukan Sebagai Upaya Mewujudkan Kedaulatan Energi di Indonesia. Jurnal Untidar.