Irak Menunjuk Presiden Dan Perdana Menteri Baru, Mengakhiri Kebuntuan Politik

Parlemen Irak telah memilih politisi Kurdi, Abdul Latif Rashid sebagai presiden baru negara itu, mengakhiri kebuntuan politik selama setahun yang berubah menjadi konflik domestik. Pemungutan suara pekan lalu menandai akhir dari kebuntuan politik terpanjang yang pernah dialami Irak sejak 2003, ketika pemimpin Irak yang berpengaruh besar saat itu, Saddam Hussein digulingkan oleh pasukan AS.

Rashid memenangkan 162 dari 269 suara, mengalahkan Presiden Irak saat ini, Barham Salim yang hanya memperoleh 99 suara, menurut pernyataan dari parlemen Irak. Rashid kemudian menunjuk Mohammed Shia al-Sudani sebagai perdana menteri yang kini memiliki waktu satu bulan untuk membentuk pemerintahan.

Politisi Irak telah berjuang untuk membentuk pemerintahan sejak pemilihan umum pada Oktober 2021 yang menghasilkan partai ulama Muslim Syiah, Moqtada al-Sadr keluar sebagai pemenang, memenangkan lebih dari 70 kursi dan kemudian memiliki pengaruh besar dalam menciptakan pemerintahan. Namun upaya Al-Sadr untuk membentuk koalisi yang berkuasa kandas di tengah oposisi dari blok pesaing mereka.

Sebelumnya, penunjukan perdana menteri juga telah dilakukan pada bulan Juni, partai Muslim Syiah tersebut telah berencana untuk memproyeksikan Irak untuk “melawan” Iran dan Amerika Serikat. Namun, ketika pemerintah berusaha untuk menunjuk perdana menteri baru pada bulan berikutnya, ratusan pendukung al-Sadr menyerbu wilayah pemerintah dan distrik diplomatik yang dijaga ketat di Irak. Membuat kondisi politik Irak kembali memburuk.

Kekerasan sporadis terus mengganggu Irak, bahkan sebelum penunjukan Rashid, sembilan roket menyerang di wilayah pemerintahan yang telah dibentengi, melukai beberapa orang termasuk seorang anggota pasukan keamanan Irak. Perdana Menteri Irak saat ini, Mustafa al-Kadhimi mengutuk serangan itu, mengatakan mereka berusaha untuk menghalangi proses politik saat ini.

Akibat kekacauan itu, al-Khadimi mengatakan bahwa “Sementara kami mendukung penyelesaian hak konstitusional untuk mengakhiri krisis politik, kami menegaskan arahan kami kepada para pemimpin dinas keamanan untuk memastikan perlindungan penuh dan diperlukan untuk parlemen, dan kami dengan tegas menolak segala upaya untuk menghalangi proses demokrasi,” kata al-Kadhimi dalam sebuah postingan di Twitter.