Sweet Seventeen Perjanjian Helsinki: Angan dan Realita Perdamaian Aceh

Bertepat 15 Agustus merupakan hari bersejarah yang menandai perdamaian di Aceh dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) di Helsinki, Finlandia. Dari kesepakatan tersebut, GAM menyatakan mengakhiri usahanya untuk memisahkan diri dari Indonesia. Sebelumnya, konflik GAM-Indonesia telah berlangsung selama 29 tahun dan merenggut hampir 15.000 korban jiwa.

 

Adapun isi MoU Helsinki terdiri dari:

  • Bagian pertama menyangkut kesepakatan tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh.
  • Bagian kedua tentang Hak Asasi Manusia.
  • Bagian ketiga tentang Amnesti dan Reintegrasi GAM ke dalam masyarakat,
  • Bagian keempat tentang Pengaturan Keamanan.
  • Bagian kelima tentang Pembentukan Misi Monitoring Aceh.
  • Bagian keenam tentang Penyelesaian Perselisihan.

 

Terdapat 71 butir pasal dalam Kesepakatan Helsinki. Di antaranya, Aceh diberi wewenang melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi. Sebagiamana disampaiakn oleh Ketua DPR Aceh Saiful Bahri agar pemerintah Indonesia  merealisasikan poin-poin yang tertuang dalam naskah perdamaian Helsinki.

Tidak Terasa telah 17 Tahun sudah Perdamaian Aceh semenjak penadantanganan Mou Helsinki, Tetapi Nota Kesepahaman yang menandai berakhirnya perang sipil selama tiga dekade di bumi Serambi Mekah, oleh sebagian orang dianggap ‘tak ada implementasi berarti’ dan ‘cek kosong’ belaka. Tercatat ada delapan butir MoU Helsinki yang belum tertunaikan sebagai berikut:

  1. Komisi Bersama Penyelesaian Klaim dan Pengadilan HAM untuk Aceh

Korban konflik yang mengalami kerugian harta benda, semestinya bisa menuntut kerugian melalui Komisi Bersama Penyelesaian Klaim. Meski demikian, hingga saat ini belum juga dibentuk komisi tersebut meski sudah menjadi amanat MoU Helsinki hampir dua dekade silam. Hal ini tertuang pada curahan hati para korban yang dituangkan pada  puluhan surat lain dari perempuan korban konflik Aceh di masa lalu, yang mana surat-surat ini bagian dari proyek Letter of Hope yang diinisiasi sejumlah anak muda di Kota Banda Aceh untuk memperingati 17 tahun Kesepakatan Helsinki

Sementara mengenai Pengadilan HAM untuk Aceh, ada perdebatan antara pusat dan Aceh terkait pembentukannya. Hal ini mengingat sudah adanya Pengadilan HAM di Medan mencakup area Sumatera bagian Utara (Sumbagut) seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau. Meski demikian, terkait pembentukan Pengadilan HAM untuk Aceh ini sebenarnya sudah diatur dalam MoU Helsinki dan menjadi utang pemerintah pusat.

  1. Nama Resmi Aceh dan Gelar Pejabat Senior

Belum ditetapkan nama resmi Aceh seperti menggunakan ejaan Acheh, Atjeh, Asyi atau Aceh seperti yang sekarang. Padahal itu tertuang dalam butir MoU Helsinki untuk diatur dan ditetapkan satu versi saja sebagai nama resmi. Kemudian gelar pejabat senior setingkat gubernur, bupati atau wali kota juga belum ditetapkan di Aceh. Sebab pada masa konflik, para pejabat di Aceh tidak mau menyebut dirinya sebagai gubernur, melainkan panglima sagoe, panglima sagoe cut atau panglima sagoe rayeuk. Masih menjadi pertanyaan apakah nama itu masih dipakai, atau menggunakan gelar sultan atau gubernur seperti yang sekarang. Mengingat Gubernur di Jogja namanya Sultan. Aceh di masa konflik menggunakan gelar panglima sagoe. Apakah Aceh akan menggunakan istilah yang seperti itu, atau gubernur. Ini belum ada ketetapan. Selain itu, gelar pejabat senior dipilih dan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah pemilu tahun 2007 lalu. Tapi sampai sekarang belum ada gelar itu.

  1. Bendera dan Lambang

Bendera dan Lambang sudah disepakati, tapi hingga saat ini belum disetujui oleh pusat. Sebagiamana tertuang pada surat Kemendagri RI Nomor: 188.34/2723/SJ yang  dikeluarkan oleh Mendagri pada tanggal 26 Juli 2016 mengenai pembatalan Qanun Aceh. Padahal dalam MoU Helsinki, Aceh berhak menentukan tiga hal yakni lambang, bendera dan himne.

  1. Peradilan Independen

Selama ini, apapun perkaranya akan berujung ke Mahkamah Agung (MA). Namun harus menunggu antrean putusan hingga 2-3 tahun lamanya karena MA mengurusi hingga 37 provinsi se-Indonesia sekaligus. Pihak GAM menghendaki suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi, dibentuk di Aceh dalam sistem peradilan Republik Indonesia.

  1. Kejahatan Sipil Aparat Militer Diadili di Aceh

Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh, berdasarkan MoU Helsinki, semestinya diadili pada pengadilan sipil di Aceh. “Pengadilan sipil, itulah Pengadilan Negeri (PN). Tapi mana ada sekarang aparat militer yang diadili di PN, semuanya masih harus ke Mahkamah Militer (Mahmil),” ungkap Yarmen.

  1. Akses Langsung ke Negara Asing via Laut dan Udara

Salah satu amanat MoU Helsinki menyebutkan, ada butir di mana Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa ada hambatan ke negara-negara asing melalui jalur laut dan udara. Namun kenyataannya, hingga saat ini pesawat dari Aceh masih belum dibolehkan ke Malaysia secara langsung melalui Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar. Melainkan harus ke Medan terlebih dahulu, baru bisa ke negara asing.

  1. Pekerjaan dan Jaminan Sosial

Belum semua eks kombatan, mantan tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) GAM, serta masyarakat sipil korban konflik mendapatkan haknya. Hak tersebut sebagaimana diamanatkan MoU Helsinki seperti pekerjaan, jaminan sosial, dan tanah pertanian yang pantas atau memadai apabila mereka tidak mampu bekerja. Terkait tanah atau lahan yang dibagikan, sedikitnya harus ada 320.000 hektare.

Sebagaimana disampaikan oleh Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Azhari Cage SIP, mengatakan bahwa pemberian lahan pertanian yang pantas untuk eks kombatan, tapol/napol, dan masyarakat korban konflik sudah diatur pada butir 3.2.5 huruf a, b, dan c MoU Helsinki. Namun, menurutnya, selama ini pembagian lahan pertanian ini belum seluruhnya terealisasi, kecuali secara parsial untuk eks kombatan dan tapol/napol di Pidie Jaya dan Aceh Utara atas prakarsa BRA dan bupati setempat.

  1. Tentukan Bunga Bank Sendiri

Aceh berhak menentukan suku bunga bank sendiri yang berbeda dengan ketetapan Bank Indonesia (BI).

 

Perayaan 17 tahun perdamaian Aceh ini merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah pusat untuk mengevaluasi kembali upaya peningkatkan kesejahteraan dan melepaskan Aceh dari belenggu kemiskinan melalui penjabat daerah baik provinsi maupun kabupaten / kota yang diberikan mandat memimpin daerah di Aceh.

Membangun kembali masyarakat pasca-konflik membutuhkan pendekatan dan strategi pembangunan perdamaian pasca-konflik secara khusus, bukan hanya untuk mencegah agar konflik tidak kembali muncul ke permukaan tetapi juga untuk mengkonsolidasikan perdamaian menuju tercapainya pembangunan dan perdamaian berkelanjutan. Demikian itu selain membutuhkan pemahaman yang baik atas konflik dan karakteristiknya di masa lalu sehingga bisa diantisipasi segala kemungkinan terjadinya konflik di masa yang akan datang, juga penting untuk memastikan pembangunan perdamaian semakin tumbuh berkembang di masyarakat Aceh sebagaimana apa yang telah tertuang pada Alinea ke-4 UUD 1945 bahwasanya merupakan kewajiban pemerintahan Indonesia untuk serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Bilamana kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah pusat, maka citra pemerintah pusat dalam upaya merawat perdamaian Aceh juga akan ternodai. Sudah sepatutnya, langkah yang harus dilakukan dan dievaluasi secara berkala yakni bagaimana para perwakilan pemerintah pusat yang ditunjuk sebagai penjabat daerah memimpin daerah di Aceh mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat tanpa memandang kasta hingga ke lapisan paling bawah.

Pendekatan pencegahan konflik secara khusus, terutama untuk mencegah agar konflik tidak kembali terjadi (recurring conflict), juga diperlukan pendekatan penyelesaian dan transformasi konflik melalui pembangunan perdamaian. Pencegahan konflik dalam masa pasca-konflik memiliki arti khusus sama dengan pemeliharaan perdamaian sehingga kedua pendekatan ini, pencegahan konflik (conflict prevention) dan pemeliharaan perdamaian (peace keeping), harus dipadukan dan dijalankan secara kontinum dalam pembangunan perdamaian pasca-konflik pengembangan kelembagaan demokratis dan tata kelola pembangunan perdamaian pasca-konflik merupakan kebutuhan strategis perlu dikembangkan di daerah pasca-konflik, terutama untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan negara dan masyarakat sipil dan lembaga pelayanan publik lainnya di tingkat lokal agar efektif memberikan pelayanan publik untuk mengatasi kerentanan-kerentanan dan hambatan perdamaian. Kebijakan dan pelayanan publik terutama diarahkan untuk mengatasi masalah- masalah dihadapi kelompok-kelompok rentan, kelompok memiliki beban konflik di masa lalu, seperti eks-pelaku konflik, eks-terpenjara politik, maupun kelompok korban konflik, agar supaya terintegrasi ke dalam komunitas untuk kembali dalam kehidupan normal dalam arti menjalankan kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya secara mandiri di masyarakat

Sungguh ironis kiranya, perdamaian Aceh dan kemerdekaan NKRI yang mengantarkan perdamaian ditandai dengan MoU Helsinki pada dasarnya adalah kebebasan, kesejahteraan dan kemandirian bangsa Aceh didalam naungan NKRI. Jika kesejahteraan rakyat dikebiri dengan program seremoni maka akan menghadirkan kepiluan ditengah harapan kesejahteraan rakyat yang di nanti. Jadi, perdamaian dan kemerdekaan itu bukan persoalan simbol merah putih yang dibagi atau bulan bintang yang dikibarkan, tapi bagaimana kesejahteraan dan program pro rakyat dapat diwujudkan dalam bentuk kebijakan kongkret dari pemimpin yang ditunjuk sebagai perpanjangtanganan pemerintah pusat di Aceh. Jika tidak, rasa nasionalisme hanya wacana, kecintaan terhadap keacehan juga hanya sebatas nostalgia. Perlunya para stakeholder terkait untuk berdiskusi dan mencapai konsensus bersama berupa penyamaan persepsi memgenai bagaimana butir butir MoU dapat dimaksimalkan untuk kesejahteraan masyarakat Aceh.