Myanmar: Dapatkah kekuasaan Junta Militer dibatasi pada tahun 2023?

1 Februari 2023, menandai ulang tahun kedua kudeta militer di Myanmar. Dua tahun terakhir ini Myanmar dipenuhi gejolak karena konflik yang sedang berlangsung antara penduduk sipil dan Pemerintahan Tatmadaw yang terus menegaskan legitimasi kekuasaannya meskipun mendapat reaksi keras dari masyarakat nasional dan internasional.

 

Aksi protes diam dalam bentuk pemogokan dilakukan oleh kelompok pro-demokrasi untuk memperingati hari peringatan dua ta tahun kudeta militer. Seperti perayaan pada tahun lalu, para pria, wanita, dan anak-anak akan tinggal di rumah dan tidak berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari untuk memperlihatkan perlawanan mereka yang berkelanjutan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan militer akan melakukan aksi unjuk rasa untuk melawan perlawanan massa.

Sejak Februari 2021, tercatat lebih dari 19.000 orang telah dibantai, 13.368 orang ditahan, dan 14.73.000 orang mengungsi. Lebih dari 34.000 bangunan keagamaan, rumah, serta pusat pendidikan dan medis telah dihancurkan. Kebutuhan akan bantuan kemanusiaan terus meningkat.

 

Skenario domestik

Menurut Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar, Pemerintahan Junta memiliki cengkeraman yang kuat terhadap hanya 17 persen dari populasi Myanmar. Menariknya, the People’s Defense Forces (PDF) memegang kendali atas 50 persen, sementara sisanya masih terombang-ambing.

Para analis percaya bahwa ini adalah bentuk kekerasan terburuk yang pernah dialami Myanmar sejak kemerdekaannya, bahkan menyebar ke daerah yang paling tidak ada kekerasan yang dikenal sebagai zona kering. Zona kering adalah daerah yang didominasi oleh mayoritas Buddha Bamar dan loyalis militer. Daerah ini secara tradisional tidak pernah mengalami segala bentuk kekerasan yang sering terjadi pada etnis pinggiran. Menurut Armed Conflict Location and Event Data Project (data ACLED), sekitar 650 PDF bertempur di zona kering. Pergerakan orang secara keseluruhan telah menyebabkan kematian beberapa tentara militer.

Selanjutnya, pada awal Januari 2023, rezim junta telah mengintensifkan serangan udara di Wilayah Sagaing dan negara bagian Chin, Kachin, dan Karen, untuk meredam gerakan dan menjadi ancaman bagi kelompok-kelompok etnis bersenjata yang telah bersumpah untuk menjatuhkan rezim pada tahun 2023. Tindakan ini merupakan bentuk upaya dari rezim Junta yang sedang berusaha untuk mengendalikan situasi politik Myanmar yang sedang bergejolak.

Saat ini fokus para pemimpin militer Myanmar tertuju pada puncak pemilihan umum yang akan diselenggarakan secara tentatif pada bulan Agustus 2023. Menurut panglima militer Myanmar, pemilu ini diharapkan dapat mengembalikan semangat demokrasi yang hilang di negara ini. Dalam perayaan Hari Kemerdekaan Myanmar yang ke-75, Min Aung Hlaing, panglima militer Myanmar meminta dukungan warga dan komunitas internasional yang lebih luas untuk menyukseskan pemilu. Pada saat yang sama pemerintahan darurat berakhir pada tanggal 31 Januari (setelah diperpanjang dua kali). Sesuai dengan Konstitusi 2008, kantor administrasi Myanmar sedang merumuskan jabatan baru sehingga para jenderal militer dapat melanjutkan pekerjaan mereka tanpa jeda. Hingga saat ini, Dewan Administrasi Negara Myanmar telah menjadi nama yang dipilih untuk menjalankan pemerintahan junta militer Myanmar.

Hal ini telah disoroti oleh beberapa analis yang menyatakan upaya junta militer Myanmar untuk mengadakan pemilihan di tengah-tengah situasi politik dan sosial yang kacau dapat menyebabkan lebih banyak resistensi yang mungkin tidak dapat ditangani oleh militer dalam situasi saat ini.

 

Peranan Dunia internasional

Jika kawasan ini secara keseluruhan dipertimbangkan, maka tahun 2023 tampaknya akan menjadi tahun yang sulit bagi Pemerintahan Junta Myanmar baik di dalam negeri maupun di tingkat global. Dalam sebuah langkah pertama sejak kudeta Februari 2021, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) telah berhasil menyetujui resolusi yang menuntut penghentian segera semua pengaturan kekerasan. Resolusi tersebut juga menuntut pembebasan segera Penasihat Negara Daw Aung San Suu Kyi dan Presiden U Win Myint, bersama dengan para tahanan lainnya. Selain itu, DK PBB juga menyerukan operasionalisasi yang sistematis dan segera dari the Association Southeast Asian Nations (ASEAN) Five-Point Consesus.

DK PBB adalah satu-satunya badan PBB yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan resolusi yang mengikat negara-negara anggotanya. Kali ini resolusi tersebut disahkan tanpa ada ketidaksetujuan dari Cina maupun Rusia. Namun, resolusi ini masih belum memiliki langkah-langkah yang tepat untuk menegakkan akuntabilitas jika ada yang tidak dapat memenuhi poin-poin yang disebutkan dalam resolusi. Hal ini membutuhkan negara-negara anggota yang dapat mendukung rakyat Myanmar untuk bertindak serempak agar resolusi tersebut tidak menjadi jalan buntu yang diikuti oleh lambannya tanggapan internasional.

Lebih lanjut, pada bulan November 2022, Burma Act 2022 yang disahkan oleh kongres AS memungkinkan Amerika Serikat untuk memberikan bantuan teknis dan non-militer kepada pasukan yang memerangi Junta Militer Myanmar seperti the National Unity Government (NUG), dan kelompok-kelompok etnis bersenjata serta PDF. Hal ini memberikan NUG (pemerintah bayangan) dan PDF dengan otot yang sangat dibutuhkan untuk melanjutkan gerakan mereka.

Terlebih lagi, ketua ASEAN saat ini, Indonesia, memiliki sikap yang kuat terhadap Myanmar karena tidak mematuhi Konsensus ASEAN. Indonesia baru-baru ini mendirikan sebuah kantor untuk memantau tindakan Junta dan terlibat dengan semua pemangku kepentingan untuk memastikan proses perdamaian benar-benar ditaati. Menteri Luar Negeri Indonesia dan Utusan ASEAN untuk Myanmar saat ini, Retno Marsudi, telah menyatakan bahwa Indonesia tidak akan membiarkan masalah Myanmar menghalangi perkembangan kawasan regional ini, tetapi akan berusaha membantu rakyat Myanmar untuk keluar dari krisis. Oleh karena itu, rencana aksi apa yang akan dibuat oleh utusan tersebut untuk mengendalikan situasi akan menjadi penting untuk diamati.

Terlepas dari langkah-langkah di atas, serangan militer terus berlanjut. Bahkan setelah keputusan DK PBB, pengadilan militer menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara kepada mantan penasihat negara sehingga total hukuman menjadi 33 tahun. Selain itu, mantan presiden telah dipindahkan ke penjara Taungoo pada pertengahan Januari 2023 sehingga total hukumannya menjadi 12 tahun. Perang melawan massa sedang berlangsung dengan kekuatan penuh tanpa ada tanda-tanda pengurangan. Minggu lalu, Pemerintahan Junta mengebom sebuah biara yang menampung para pengungsi. Selain itu, merampas sumber daya dan tidak mengizinkan bantuan untuk menjangkau orang-orang yang membutuhkan telah menjadi hal yang biasa. Dengan demikian, kemungkinan Pemerintahan Junta Militer Myanmar akan mengikuti perintah internasional atau regional tampaknya kecil saat ini. Jika tahun 2021 dan 2022 menjadi petunjuk, maka Junta Militer Myanmar akan terus bertindak dengan cara yang dianggapnya tepat dan akan terus mengabaikan atau memilih-milih poin yang tampaknya cocok untuk tujuannya sendiri.

 

Namun, masih ada harapan bahwa banyak dinamika yang akan berubah pada tahun 2023 dengan gelombang gerakan rakyat yang tak henti-hentinya, keputusan DK PBB, Undang-Undang Burma 2022, dan ketua baru ASEAN. Apakah hal ini akan mengarah pada hasil yang tepat untuk mengembalikan rezim demokratis ke tampuk kekuasaan tanpa pengaruh militer, hal ini masih harus dilihat.