Aung San Suu Kyi vs Tatmadaw: Lemahnya Konstitusi Myanmar Menjamin Demokrasi

Foto: Aksi protes rakyat Myanmar di depan Kedutaan Besar Myanmar di Bangkok (01/02). (Guillaume Payen/Anadolu Agency via Getty Images)

Setelah satu dekade berakhirnya kekuasaan militer di Myanmar, 2021 militer berhasil mengambil alih kekuasaan kembali. Melalui deklarasi state of emergency pada 1 Februari 2021, Tatmadaw yaitu sebutan bagi militer Myanmar akan memiliki kekuasaan selama setahun ke depan. Sebelumnya, Tatmadaw dikabarkan telah menangkap dan menahan Aung San Suu Kyi dan beberapa petinggi pemerintahan lainnya. Penangkapan ini merupakan buntut panjang dari perselisihan hasil Pemilihan Umum yang dilaksanakan pada November 2020 yang dimenangkan oleh Aung San Suu Kyi dan partai. Kemenangan telak Aung San Suu Kyi diklaim telah menyalahi aturan dalam Konstitusi Myanmar.

Sejauh ini, berbagai pihak telah memberikan respon terhadap aksi yang dilakukan oleh Tatmadaw. Tidak sedikit diantaranya yang menilai aksi penangkapan terhadap Aung San Suu Kyi sebagai kudeta terhadap kekuasaan sipil di negara tersebut. Kejadian ini tentu juga mendatangkan kekhawatiran bagi negara-negara di Asia Tenggara berkaitan dengan stabilitas kawasannya. Tidak ketinggalan AS yang baru saja melantik Presiden terpilihnya yang memiliki ambisi untuk kembali mempromosikan demokrasi. AS melalui juru bicara Gedung Putih, memberikan pernyataan sekaligus ancaman akan bertindak lebih keras kepada Myanmar, apabila pihak-pihak terkait yang bertanggung jawab dari kejadian itu tidak segera menghentikan aksi mereka.

Apa yang sebenarnya terjadi di Myanmar?
Pada dasarnya perselisihan diantara Aung San Suu Kyi dan Tatmadaw yang berakhir dengan penangkapan Aung San Suu Kyi, dimulai dari hasil kemenangan telak Aung San Suu Kyi dalam pemilu November 2020. Partai Aung San Suu Kyi, National League Democracy (NLD), berhasil memenangkan 83% kursi parlemen pada pemilu itu.  Hasil ini kemudian diklaim oleh Tatmadaw tidak sesuai dengan amanat dari konstitusi Myanmar. Hal ini dikarenakan adanya peraturan dalam konstitusi Myanmar yang mengatur Tatmadaw memiliki 25% kursi di parlemen, bahkan menduduki posisi-posisi penting dalam kabinet termasuk Menteri Pertahanan (Naing, 2021). Namun dengan kemenangan telak partai Aung San Suu Kyi, jumlah kursi Tatmadaw di parlemen bahkan tidak mencapai 20%.

Kejadian ini mencerminkan bagaimana hubungan sipil-militer di Myanmar yang cukup kompleks sampai saat ini. Hubungan sipil militer di negara demokrasi menurut Samuel Huntington (1967) idealnya menggunakan model Objective Civilian Control. Model Objective civilian control menekankan pemisahan militer dari politik domestik dan pengaruhnya dalam proses pengambilan kebijakan negara. Pemisahan ini bertujuan untuk membuat batasan dan distribusi yang jelas antara kewenangan sipil dan militer. Sehingga tercipta batasan dan distribusi yang jelas diantara keduanya yang akan mempengaruhi proses demokrasi dalam politik domestik.

Dengan adanya bagian dari Konstitusinya yang mengatur tentang posisi Tatmadaw dalam politik domestik, Myanmar sampai saat ini belum dapat melepaskan pengaruh dan dominasi Tatmadaw. Tidak bisa dihindari, hal ini telah menjadi salah satu pemicu kejadian ini. elit Tatmadaw tidak bisa menerima hasil pemilu karena ketentuan dari Konstitusi tersebut.  Hal ini sekaligus memperlihatkan lemahnya Konstitusi Myanmar mewadahi pemisahan kewenangan sipil dan militer serta menjamin keberlangsungan demokrasi di negara itu.

Menurut Diskin, dkk. (2005), lemahnya konstitusi menjamin kekuasaan sipil dalam pemerintahan di negara demokrasi, termasuk yang sedang transisi, dapat memicu ketidakstabilan dalam politik domestik. Ketidakstabilan politik domestik menyebabkan rentannya terjadi kekacauan di negara itu. Hal ini disebabkan tidak adanya batasan yang jelas antara kekuasaan sipil dan militer serta fungsi militer di bawah kontrol pemerintahan sipil dalam Konstitusi yang berlaku. Selain itu, ketidakjelasan ini dapat membuat kedua pihak, sipil dan militer, mengklaim bahwa memiliki kekuasaan di suatu negara yang sama. Sehingga, perselisihan, konflik bahkan kudeta diantara keduanya mungkin tidak dapat dihindari.

Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan ataupun tambahan dalam Konstitusi yang berlaku di Myanmar. Tapi mengingat dominasi dan pengaruh Tatmadaw yang telah berlangsung lama bahkan dapat dikatakan telah menjadi budaya dalam politik domestik Myanmar, nampaknya perubahan ini akan sulit tercapai. Satu-satunya jalan keluar dari masalah ini adalah dengan mengedepankan dan membangun mutual trust diantara keduanya. Dengan tujuan untuk menciptakan integrasi dan kerja sama dalam politik nasional agar kedua pihak dapat mencapai kata sepakat berkaitan dengan distribusi kewenangan.

Sanksi Internasional?
AS telah memperingati Tatmadaw untuk menghentikan aksi mereka dan apabila tidak, AS akan bertindak tegas. Pernyataan AS ini dapat mengindikasikan akan adanya pemberian sanksi yang keras kepada Myanmar. Namun, pertanyaannya akankah pemberian sanksi efektif? Myanmar tercatat telah banyak menerima sanksi, salah satunya sanksi akibat krisis Rohingya pada 2019 dan itu dinilai berbagai pihak tidak efektif. Sehingga sanksi kali pun banyak yang beranggapan juga tidak akan efektif.  

ASEAN sebagai organisasi regional di mana Myanmar bernaung belum mampu berbicara banyak sejauh ini, selain mengecam. Prinsip non-interference antar negara anggota ASEAN membuat mereka tidak dapat berbuat banyak. Selain itu, negara-negara Asia Tenggara juga tidak memiliki pengaruh dan kapabilitas yang cukup kuat untuk memberikan sanksi terhadap Myanmar. Sanksi yang mungkin dapat menekan Myanmar adalah sanksi keras dari Dewan Keamanan PBB. Tapi sayangnya, negara-negara dalam Dewan Keamanan kerap kali tidak mendapatkan kata sepakat. Terkait dengan Myanmar, Tiongkok dan Rusia sering kali melindungi agar tidak mendapatkan sanksi keras dari Dewan Keamanan PBB (Yhome, 2018). Pada akhirnya yang bisa menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Myanmar hanya Myanmar sendiri yang bergantung pada interaksi sipil dan Tatmadaw.

Referensi:
Diskin, Abraham., Diskin, H., & Hazan, Reuven Y. (2005). Why Democracies Collapse: The Reasons For Democratic Failure And Success. International Political Science Review Vol. 26, No. 3, 291-309.

Huntington, Samuel. (1957). The Soldier and The State. Harvard University Press.

Naing, Shoon. (2021, 30 Januari). Myanmar Military Allays Coup Fears, Says It Will Protect Constitution. Reuters. https://www.reuters.com/article/us-myanmar-politics/myanmar-military-says-it-will-protect-and-follow-constitution-idUSKBN29Z09L

Yhome, K. (2018, 29 Agustus). Why UN’s Report And Sanctions Are Unlikely To Change Myanmar. Observer Research Foundation, Commentaries. https://www.orfonline.org/research/43678-why-uns-report-and-sanctions-are-unlikely-to-change-myanmar/