Laporan Climate Change 2020, Salah Satu Tahun Paling Panas!

Seperti laporan tahunan pada umumnya, World Meteorological Organization merilis laporan State of the Global Climate untuk tahun 2020 baru ditahun 2021. Ada beberapa hal yang disoroti oleh WMO dalam laporan itu, diantaranya tentang emisi gas, permukaan air laut sampai suhu Bumi.

Aktivitas manusia sepanjang tahun 2020 memang mengalami pembatasan sejak bulan Maret ketika WHO menetapkan penularan  COVID-19 sebagai pandemi. Pembatasan ini menyebabkan reduksi gas cukup turun. Walaupun begitu, efeknya dan efek rumah kaca justru tetap parah di mana 2020 tercatat sebgai salah satu tahun terpanas dengan rata-rata suhu mencapai 38.0 derajat celcius.

Semakin panasnya suhu Bumi menjadikan laut sebagai salah satu korbannya yang kewalahan mengimbangi efek rumah kaca. Akibatnya, suhu air laut juga menjadi panas dan memicu penurunan pH air laut yang menyebabkan rusaknya ekosistem lautan. Selain itu, hal ini juga memicu es di Kutub yang mencair dan telah melewati batas minimum pencairan pada September 2020. Antartika bahkan diperkirakan telah kehilangan es sebesar 175 sampai 225 Gt per tahun. Cairnya es ini telah menyebabkan permukaan air laut semakin tinggi.

Cuaca yang tidak menentu dan semakin ekstrem akibat climate change membuat mayoritas pertanian terganggu. Terganggunya sektor pertanian memicu ketersediaan makanannya menjadi kurang. Hal ini menyebabkan tingkat food insecurity semakin meningkat, khususnya di negara dengan jumlah populasi banyak dan negara yang bahan makanannya bertumpuh pada pertanian.

Selain itu, Climate Change telah menyebabkan sebanyak 9,8 juta orang harus kehilangan tempat tinggal dan berpindah tempat pada paruh pertama 2020. Dipekirakan jumlah ini akan lebih banyak sepanjang tahun 2020. Mayoritas disebabkan oleh bencana seperti topan dan badai, hujan salju lebat, tornado sampai cuaca panas dan dingin yang ekstrem.                

Kondisi Bumi dipekirakan akan semakin parah pada tahun 2025, sehingga diperlukan upaya kolektif untuk menjalankan mitigasi yang efektif. Resesi akibat pandemi dinilai sebagai ancaman bagi upaya ini karena masih akan memberikan dampak beberapa tahun ke depan. Namun, kondisi ini juga membuka kesempatan untuk mengembangkan energi hijau (green energy) melalui investasi pada infrastruktur publik. Hal ini dinilai dapat mendukung ekonomi nasional melalui penyediaan lapangan pekerjaan baru ketika memasuki fase pemulihan dari pandemi saat ini.