Hikmah Badai Seroja NTT & Masa Depan Penanganan Bencana Alam di Indonesia

Letak geografis Indonesia yang terletak pada ring of fire menjadikannya rawan terjadi bencana alam, terutama bencana tektonik geologi seperti gempa bumi dan tsunami hingga hidrometerologi (banjir, banjir bandang, tanah longsor, puting beliung). Selain itu perubahahan ekstrim iklim cuaca dapat menjadi potensi bencana alam di Indonesia. Hal ini yang dirasakan oleh berbagai wilayah di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terdampak bencana alam banjir bandang dan angin kencang pada 4 April 2021 yang disebabkan oleh badai Seroja. Kerugian dari bencana alam ini menimbulkan korban ratusan jiwa serta kerugian materil. Berkaca pada hal tersebut, bagaiamana upaya pemerintah menangani bencana alam seperti ini di masa depan?

Bencana Siklon Tropis Seroja di NTT
Bencana Siklon Tropis Seroja yang menerjang Kota Kupang dan 21 kabupaten di Provinsi NTT sejak 2 April sampai dengan 5 April 2021 menyebabkan terjadinya banjir bandang dan angin kencang yang menimbulkan kerusakan pada pada lingkungan sekitar yang memakan korban Jiwa dan kerugian materiil. Gubernur NTT Viktor Laiskodat sendiri telah menetapkan status tanggap darurat terhitung mulai tanggal 6 April sampai 5 Mei 2021.

Berdasarkan laporan BNPB dari 18 Kabupaten dan satu kota se-NTT yang disampaikan oleh Juru bicara Pemprov NTT Marius Ardu Jelamu terdapat jumlah kerusakan sebanyak 126.459 yang terdiri atas  63.916 unit rumah warga dan 62.543 unit merupakan fasilitas umum di Nusa Tenggara Timur rusak akibat badai seroja, banjir dan tanah longsor.[1] Sedangkan jumlah korban meninggal akibat bencanan alam siklon tropris seroja ini sebanyak 181 Jiwa dan total pengungsi 49.512 jiwa, namun sudah banyak yang kembali ke rumah-rumah keluarga ataupun kediaman pribadi yang mana mengalami rusak ringan.[2]

Selain itu akses jalan yang terputus menyebabkan desa yang terdampak terisolasi telah terjangkau untuk pendistribusian logistik bantuan melalui transportasi darat, laut dan udara. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencanan (BNPB), saat ini terdapat 513 sukarelawan dari 68 lembaga kemanusiaan yang turut membantu penanganan dampak bencana melalui bantuan evakuasi, terpal, pangan, layanan medis, obat-obatan, bantuan non-pangan dan dukungan psikososial.[3]

Presiden Jokowi sendiri telah mengeluarkan 5 arahan untuk penanggulangan bencana di NTT. Pertama ialah percepatan proses evakuasi, pencarian, dan penyelamatan korban yang belum ditemukan. Kedua ialah memastikan hadirnya pelayanan kesehatan dan pertolongan medis yang dibutuhkan oleh para korban. Yang ketiga yakni menangani dan memenuhi kebutuhan para pengungsi, mulai dari logistik hingga sanitasi. Adapun keempat adalah percepatan perbaikan infrastruktur penunjang yang rusak akibat bencana. Serta yang kelima, ialah mengantisipasi potensi bencana yang dapat terjadi akibat cuaca sangat ekstrem yang melanda berbagai kawasan di Indonesia.[4] Selain itu Presiden Jokowi juga secara langsung turun ke lapangan melihat secara dekat dampak bencana ini dan menginstruksikan seluruh jajajran pemwrintahan baik pusat maupun daerah untuk melakukan intervensi penuh sesuai dengan tupoksi masing-masing.[5]

Masa Depan Penanganan Bencana Alam di Indonesia
Mengingat keadaan Indonesia yang rawan bencana alam, pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana yang kemudian mendirikan BNPB sebagai lembaga yang berwenang dalam penanggulangan bencana alam.[6] BNPB mencatat sepanjang tahun 2021 terjadi kasus bencana alam terjadi sebanyak 1.153 kasus.[7] Dimana kejadian tersebut merusak 151.781 rumah.

Selain itu BNPB mencatatkan Indonesia dari 75.00 desa yang ada di Indonesia 53.000 desa atau kelurahan diantaranya masuk kedalam kategori rawan bencana. Setidaknya terdapat 5.744 desa rawan tsunami, 37.497 desa rawan longsor, 45.973 desa rawan gempa bumi, 2.160 desa rawan gunung api, 47.430 desa rawan banjir, dan beberapa bencana lainnya. BNPB juga mencatat terdapat 51 juta keluarga di Indonesia yang tinggal di daerah-daerah rawan bencana tersebut.[8]

Bencana alam sendiri merupakan suatu ancaman terhadap keamanan manusia (human security). Berdasarkan UN Resolution A/RES/66/290 yang diadopsi pada 10 september 2012 mendefinisikan keamanan manusia sebagai hak setiap orang untuk hidup bebas dan bermartabat, bebas dari kemiskinan dan rasa putus asa.[9] Menjadikan bencana alam merupakan ancaman utama bagi keamanan manusia, seperti yang terjadi NTT merupakan suatu kejadian alami yang bisa menimpa daerah mana saja, kapanpun dan dimanapun yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia, merusak fondasi ekonomi dan sosial kesejahteraan orang, dan korban trauma, anggota keluarga dan teman-teman para korban.

Oleh karenanya pengurangan risiko bencana sangat penting dilakukan untuk melindungi manusia keamanan di daerah rawan bencana alam. Menurut Carter, Pengelolaan Resiko Bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai siklus pengelolaan resiko bencana yang bertujuan antara lain mencegah kehilangan jiwa seseorang, mengurangi penderitaan manusia, memberikan informasi kepada masyarakat, mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis lainnya.[10]

Sehingga kemudian Pengelolaan Resiko Bencana atau Penanggulangan Resiko Bencana (PRB) di Indonesia, meliputi empat aspek yakni pertama mitigasi; kedua ialah kesiapsiagaan bencana; ketiga adalah tanggap darurat; keempat adalah pemulihan setelah bencana.

Bencana alam memang sesuatu yang tak bisa diihindari, namun pemerintah dan masyarakat dapat mempersiap kan diri sebagai tindakan pengelolaan resiko bencana dengan meningkatkan 4 aspek tersebut dapat dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekarang. Melalui peningkatan kemampuan deteksi dini dari pemerintah terhadap perubahan iklim oleh instansi terkait yakni BMKG dapat memberikan peringatan awal melalui teknologi broadcast SMS.

Perlunya penyediaan peta rawan bencana sebagai panduan Lembaga/institutsi terkait untuk mempersiapkan komponen penanganan bencana alam didaerah masing-masing dengan meningkatkan kemampuan dan kapabilitasnya. Terlebih mengantisipasi bencana alam yang bisa terjadi karena ada unsur campur tangan manusia seperti banjir dan tanah longsor. Selain itu, keberadaan peta rawan bencana, memudahkan pemerintah baik pusat maupun daerah untuk dapat menerapkan kebijkan secara maksimal dalam membentuk desa Tangguh bencana. Desa tangguh bencana ialah desa atau kelurahan yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi menghadapi ancaman bencana serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana tersebut.

Selain itu edukasi bagi masyarakat dalam upaya mitigasi bencana alam perlu ditingkatkan. Masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui upaya penanganan bencana alam. Sehingga paling utama ialah membangun kesadaran dan jiwa tanggap bencana masyarakat sehingga masyarakat bisa mempersiap diri dari sedini mungkin melalui peningkatan edukasi mitigasi bencana yang bisa diterapkan pada kurikulum pendidikan sedari dini baik secara formal maupun informal.


[1] Sigiranus Marutho Bere. “126.459 Rumah Warga dan Fasilitas Umum di NTT Rusak Akibat Bencana”. Kompas.Com. 14 April 2021. Retrived From: https://www.kompas.com/properti/read/2021/04/14/060000421/126.459-rumah-warga-dan-fasilitas-umum-di-ntt-rusak-akibat-bencana.

[2] Yoanes Litha. “Jumlah Korban Tewas Bencana Siklon Seroja di NTT Tambah Jadi 181 Orang”. VOA Indonesia. 15 April 2021. Retrived From: https://www.voaindonesia.com/a/jumlah-korban-tewas-bencana-siklon-seroja-di-ntt-tambah-jadi-181-orang/5853213.html

[3] BNPB. “513 Sukarelawan Bantu Penanganan Darurat Bencana NTT”. 12 April 2021. https://www.bnpb.go.id/berita/513-sukarelawan-bantu-penanganan-darurat-bencana-ntt

[4] Sekretariat Kabinet RI. “Lima Arahan Presiden Jokowi untuk Penanganan Bencana di NTT dan NTB”. 6 April 2021. Retrived From: https://setkab.go.id/lima-arahan-presiden-jokowi-untuk-penanganan-bencana-di-ntt-dan-ntb/

[5] Kukuh S.Wibowo. “Viktor Laiskodat Menilai Status Bencana Nasional di NTT Tidak Diperlukan”. Antara. 12 April 2021. Retrived From: https://nasional.tempo.co/read/1451846/viktor-laiskodat-menilai-status-bencana-nasional-di-ntt-tidak-diperlukan/full&view=ok

[6] Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

[7] Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jumlah Bencana Alam di Indonesia (1 Januari-19 April 2021). https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/04/20/487-kejadian-banjir-landa-indonesia-hingga-19-april-2021#

[8] Deti Mega Purnamasari. “BNPB: Lebih dari 53.00 Desa di Indonesia Rawan Bencana”. Kompas.Com 14 April 2021. Retrived From: https://nasional.kompas.com/read/2021/04/14/15114001/bnpb-lebih-dari-53000-desa-di-indonesia-rawan-bencana.

[9]United Nations. “UN Resolution/A/RES/66/290”. 10 September 2012. Retrived From: https://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=%20A/RES/66/290&referer=http://www.un.org/depts/dhl/resguide/r66_resolutions_table_eng.htm&Lang=E

[10] CARTER, W.N., 1992. Disaster Management: A Disaster Manager’s Handbook. Asian Development Bank.